Perkebunan Sawit dan Perlawanan Rakyat Bualemo
“Mati lebih baik dari pada harus hidup sebagai buruh perkebunan sawit.”(Burhan Waminu)
Tanggal 1 Februari 2016, PT Wiramas Permai melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal kepada 278 pekerjanya. Sebelumnya, pada 21 Februari 2015, PT Wiramas Permai telah mengurangi tenaga kerjanya sebanyak 179 orang. Jadi, ada 457 pekerja PT Wiramas Permai yang di-PHK secara sepihak tanpa pasangon dalam waktu satu tahun terakhir. Dalam surat edaran PT Wiramas Permai, disebutkan beberapa alasan PHK tersebut. Pertama, kondisi lahan secara kultur teknis tidak mungkin dikembangkan dan curah hujan berada dibawah agronomis. Kedua, jumlah tenaga kerja melebihi normal luasan efektif perkebunan.
Pekerja yang di-PHK notabene adalah masyarakat Kecamatan Bualemo yang hidup bermukim di wilayah sekitar perkebunan kelapa sawit PT Wiramas Permai. Sejak 2010, mereka telah bekerja sebagai buruh perkebunan kelapa sawit PT Wiramas Permai. Selain mem-PHK tenaga kerjanya, PT Wiramas Permai juga telah menyerobot dan menguasai lahan masyarakat Kec.Bualemo seluas 996 Hektar. Lahan ini kemudian ditanami kelapa kelapa sawit sejak tahun 2011. Lahan tersebut adalah lahan transmigrasi yang disiapkan untuk pengembangan perkebunan rakyat yang tersebar di 5 desa Kecamatan Bualemo, antara lain Desa Malik Makmur, Desa Sampaka, Desa Bima Karya, Desa Nipa Kalimoa dan Desa Lembah Tompotika.
Fakta-fakta tersebut cukup membuktikan bahwa retorika Negara Republik Indonesiayang mengizinkan investasi perkebunan sawituntuk beroperasi guna mensejahterakan rakyatnya sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar 1945, tidak terealisasi. Kita sama-sama tahu,kehadiran PT Wiramas Permai di Kecamatan Bualemo, Kabupaten Banggai,dianggap sebagai perwujudan amanat UU 1945 yang ditegaskan kembali dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan, Bab II Pasal 3 tentang tujuan penyelenggaraan perkebunan. Konflik PT Wiramas Permai dan masyarakat Bualemo membuktikan yang sebaliknya, yaitu praktek penjajahan yang dilakukan oleh investasi perkebunan kelapa sawit di negeri ini.
Bualemo dan Masa Lalunya
Bualemo adalah salah satu dari 23 Kecamatan di Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah. Luas wilayahnya 862,00 KM2 dan berisikan 19 desa yang menampung 18.721 jiwa manusia yang hidup dengan berbagai macam mata pencaharian. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2014-2015,mayoritas masyarakat Bualemo hidup sebagai petani.Catatatan BPS menyebutkan,ada 5.045 keluarga petani yang terbagi ke dalam keluarga petani yang mempunyai lahan sebanyak 4.936; keluarga petani hutan (petani yang memanfaatkan hasil hutan) sebanyak 109 keluarga, dan keluarga nelayan yang jumlahnya 527 keluarga pada 2015. Menariknya, dalam data geografis dan demografis Bualemo pada 2015, dari total18.721 jiwa yang hidup di Kec.Bualemo, 11.757 jiwanya hidup dipesisir pantai dan sisanya hidup di lembah Gunung Tompotika. Tetapi, hal itu justru tidak membuat masyarakat Bualemo menjadi nelayan.
Bualemo atau Boalemo berasal dari bahasa Bugis (Bone) yang artinya “Tanah Buah Lemon.”Pemberian nama Bualemo ini sangat erat kaitannya dengan sejarah ditemukannya dataran Kabupaten Boalemo di Provinsi Gorontalo oleh pelautKerajaan Bone. Hal itu dikarenakan pusat administrasi Kecamatan Bualemo secara kultur maupun bahasa didominasi oleh masyarakat suku Gorontalo yang berasal dari daerah Kabupaten Boalemo di Provinsi Gorontalo.Akibatnya, dua desa yang menjadi pusat administrasi Kecamatan Bualemo diberi nama Desa Bualemo A dan Desa Bualemo B. Dulunya, dataran Kecamatan Bualemo berada dalam wilayah administrasi Kecamatan Pagimana. Ditahun 2002,terjadi pemekaran menjadi daerah Kecamatan Bualemo dengan jumlahdefinitif 13 desa.
Datararan Bualemo identik dengan Gunung Tompotika yang menjadi salah satu simbol Kabupaten Banggai. Konon Gunung Tompotika dulunya adalah pusat Kerajaan Tompotika, salah satu kerajaan diujung timur Pulau Sulawesi yang tidak pernah tunduk pada kekuasaan kolonial. Gunung Tompotika juga merupakan areal yang dihuni suku Loinang (Saluan) dan Loon (Balantak) sejak dahulu kala. Tidak hanya itu, di ujung timur dataran Kecamatan Bualemo, kita juga bisa menemukan lokasi penangkaran populasi burung maleo, salah satu hewan endemik Pulau Sulawesi yang terancam punah.Selain itu, di dataran Kec.Bualemo, juga terdapat Hutan Suaka Margasatwa Pati-Pati sebagai tempat hidup berbagai macam flora dan fauna endemik Pulau Sulawesi.
Pada 1984, datanglah masyarakat dari Jawa berjumlah 85 KK sebagai peserta transmigrasi gelombang pertama. Mereka disediakan lahan sekitar 170 hektar dan ditempatkan di daerah Desa Longkoga Barat, Kecamatan Bualemo.Kemudian, pada 1995, disusul masuknya peserta transmigrasi gelombang kedua dengan jumlah 165 KK dan luas lahan sekitar 330 Hektar.Peserta transmigrasi tersebut berasal dari berbagai daerah, seperti Jawa, Bali,NTB serta peserta transmigrasi lokal (dalam daerah). Di tahun-tahun berikutnya, kedatangan masyarakat dari luar Bualemo terus terjadi sebagai peserta transmigrasi dan berakhir pada 1997.Peserta transmigrasi terakhir berasal dari Jawa dan NTB berjumlah 100 KK dengan luas lahan yang disediakan sekitar 200 Hektar (Lihat Tabel 1 dibawah ini).
Sebagai masyarakat peserta transmigrasi (masyarakat pendatang baru), sudah menjadi kewajiban untuk berbaur membangun hubungan sosial dengan masyarakat lama Bualemo (pribumi). Hubungan sosial antara masyarakat peserta transmigrasi dan masyarakat lama Bualemo membuat pola produksi masyarakat lama berubah drastis. Yang dulunya hanya sebagai petani yang memanfaatkan hasil hutan secara tradisional, perlahan-lahan berubah menjadi petani yang memanfaatkan lahan tetap secara berkelanjutan (modern).
Sebelum datangnya penduduk transmigrasi, masyarakat Bualemo memenuhi kebutuhan pokok danbahan makanan lewat kegiatan perladangan (menanam padi ladang) dan menanam kelapa serta memanfaatkan hasil-hasil laut sebagainelayan. Selain itu, masyarakat juga mendapatkan asupan makanan pokok dari kegiatan pengolahansagu sebagai bahan dasar makanan lokal onyop. Sementara, pemenuhan beras berasal dari padiladang. Masyarakat Bualemo mengalami perubahan penyajian menu konsumsi setelah mendapatkan pengaruh besar dari penduduk peserta transmigrasi.
Peserta transmigrasi, terutama orang Jawa danBali mengusahakan secara swadaya percetakan sawah. Keberhasilan mencetak sawah itu memicu masyarakat Bualemo ikut mencetak sawah. Walaupun demikian, tetap saja terjadi perbedaan carapengolahan sawah antara orang Jawa dengan orang Bualemo. Keahlian dan pengalamandalam urusan mengelola sawah membuat orang Jawa dan Bali lebih cepat berhasil dibandingkan penduduk pribumi, sehingga secara perlahan-lahan masyarakat Bualemo mulai mencontoh teknik mengelola sawah orang Jawa dan Bali.
Ditahun 2009, masyarakat Bualemo dikejutkan oleh hadirnya perusahaan perkebunan sawit berskala besar, yaitu PT Wiramas Permai, salah satu anak perusahaan milik Grup Kencana. Merekaberjanji akan membuka lapangan pekerjaan dan menyejahterakan masyarakat sekitar perusahaan sawit. PT Wiramas Permai berhasil mempengaruhi masyarakat Bualemo agar menyerahkan lahan-lahan produktif mereka untuk ditanami kelapa sawit, dan sejak saat itulah derita rakyat Bualemo dimulai.
Ekspansi Perkebunan Sawit dan PT Wiramas Permai
Tanaman kelapa sawit (elaeis guineensis) yang berasal dari Afrika Barat, merupakan tanaman penghasil utama minyak nabati yang mempunyai produktivitas lebih tinggi dibandingkan tanaman penghasil minyak nabati lainnya. Kelapa sawit pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda pada tahun 1848. Ketika itu, ada empat batang bibit kelapa sawit yang dibawa dari Mauritius dan Amsterdam serta ditanam di Kebun Raya Bogor. Tanaman kelapa sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan secara komersial pada tahun 1911.
Perintis usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah Adrien Hallet, seorang Belgia yang telah belajar banyak tentang kelapa sawit di Afrika. Budidaya yang dilakukannya diikuti oleh K.Schadt yang menandai lahirnya perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Sejak itu, perkebunan kelapa sawit di Indonesia berkembang. Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di pantai timur Sumatera (Deli) dan Aceh. Luas areal perkebunannya mencapai 5.123 ha. Indonesia mulai mengekspor minyak kelapa sawit pada 1919 sebesar 576 ton ke negara-negara Eropa. Kemudian, pada tahun 1923, Indonesia mulai mengekspor minyak inti sawit sebesar 850 ton.
Memasuki eraOrde Baru, dengan alasan menciptakan kesempatan kerja, kesejahteraan masyarakat dan sebagai sektor penghasil devisa Negara,pemerintah terus mendorong pembukaan lahan baru untuk perkebunan. Sampai dengan 1980, luas lahan mencapai 294.560 ha dengan produksi minyak sawit mentah (Crude Palm Oil atau CPO) sebesar 721.172 ton. Sejak itu, perkebunan kelapa sawit Indonesia berkembang pesat, terutama perkebunan rakyat. Hal ini didukung oleh kebijakan pemerintah yang melaksanakan program Perkebunan Inti Rakyat (PIR-bun). Dalam pelaksanaannya, perkebunan besar sebagai inti membina dan menampung hasil perkebunan rakyat di sekitarnya yang menjadi plasma. Perkembangan perkebunan semakin pesat lagi sejak 1986, setelah pemerintah mengembangkan program lanjutan, yaitu PIR-Transmigrasi. Program tersebut berhasil menambah luas lahan dan produksi investasi kelapa sawit di Indonesia. (Hartono, 2007).
Masifnya ekspansi perkebunan kelapa sawit di berbagai daerah, khususnya di Sulawesi Tengah, telah menimbulkan banyak pro dan kontra. Ditengarai banyak terjadi kerusakan lingkungan danperampasan tanah serta pelanggaran hak-hak petani dan buruh di perkebunan sawit. Mereka kerapterpinggirkan karena kurangnya pemahaman masyarakat terhadap hak-hak mereka sebagai warga negara yang hidup dilingkar perkebunan sawit. Ekspansi perusahaan perkebunan sawit juga tidak dapat dilepaskandari keterlibatan sektor finansial, terutama kelompok perbankan, dalam mendukung investasi perkebunan sawit. Misalnya, BNI, Bank Danamon dan Bank Mandiri ikut memberikan bantuan modal kepada perusahaan Kencana Agri.
Pembangunan perkebunan kelapa sawit dimulai di Sulawesi Tengah sejak 1990an. Di antara perusahaan pemilik Hak Guna Usaha (HGU) yang memulai usaha perkebunan sawit skala besar saat itu adalah PT Hardaya Inti Plantation (HIP) di Kab. Buol, PT Tamaco Graha Krida (TGK) dan PTPN XIV di Kab. Morowali serta PT Kurnia Luwuk Sejati (KLS) di Kab. Banggai. Lebih dari 48 ribu hektar lahan perkebunan dikuasai oleh empat korporasi tersebut. Kemudian pada 2007-2008, ekspansi perkebunan kelapa sawit kembali terjadi secara masif. Kala itu, Astra Agro Lestari (AAL) adalah salah satu grup yang aktif melakukan pembangunan dan perluasan perkebunan kelapa sawit. Catatan WALHI Sulteng menyebutkan bahwa dalam lima sampai enam tahun terakhir, Astra Agro Lestari (AAL) diperkirakan menguasai areal seluas 77.359 ha (berdasarkan izin lokasi)melalui lima anak perusahaannya di Kabupaten Morowali. Sementara itu, Golden Agri-Resouces Ltd. yangselanjutnya disebut Sinar Mas Group (Golden Agri Resources), juga menguasai areal yang tak kalah luasnya,yaitu 92.188 ha,melalui lima anak perusahaannya di Kabupaten Morowali.
Selain dua raksasa perkebunan kelapa sawit tersebut, perluasan perkebunan kelapa sawityang juga cukup signifikan dilakukan oleh Kencana Agri,sebuah perusahaan yang dipimpin oleh seorang pengusaha bernama Mr.Henry Maknawi. Perusahaan yang berbasis di Singapura ituhingga saat ini memiliki tiga anak perusahaan yang menguasai lahan dengan luas bervariasi didataran Kab.Banggai. Diantaranya adalah PTWiramas Permai di Kec. Bualemo yang tercatat menguasai areal Hak Guna Usaha (HGU) seluas 8.773 ha dan PTSawindo Cemerlang di Kec. Batui serta Batui Selatan yang memiliki areal HGU seluas 8.493 ha. Selain kedua perusahaan tersebut, Kencana Agri juga mengakuisisi satu perusahaan perkebunanlokal, yaitu PT Delta Subur Permai (DSP) milik pengusaha lokal di Kab.Banggai yang sejak lama memiliki areal konsesi perkebunan di Kec. Batuiseluas 4.080 ha. Perluasan perkebunan kelapa sawit yang semakin masif ini tak dapat dipisahkan dari economic booming di sektor perkebunan kelapa sawit yang dipicuoleh tingginya permintaan minyak nabati dunia untuk memenuhi konsumsi aneka makanan, kosmetikdan agrofuel.
PT Wiramas Permai adalah salah satu dari ketiga anak perusahaan Kencana Agri yang aktif beroperasi di Kab.Banggai, tepatnya di Kec.Bualemo. Sejak 2009, dengan mengantongi surat izin lokasi nomor 525.26/15/Disbun/2009 seluas 17.500 ha, PT Wiramas Permai memulai pembukaan lahan (land clearing). Setelah itu, terbit izin Hak Guna Usaha (HGU) seluas 8.773,38 ha. Namun, saat ini, PT Wiramas Permai belum memanfaatkan keseluruhan lahan yang dikuasai. Berdasarkan hasil pemantauan lingkungan berkala Dinas Perkebunan Kab.Banggai semester I 2015, lahan yang dimanfaatkan hanya seluas 3.182,66 ha dari total luas izin HGU. Dari luas areal tersebut, terdapat areal berbatu yang tidak bisa ditanami sawit seluas 87,65 ha.
Pada 2009, PT Wiramas Permai memulai aktivitas perkebunan kelapa sawitnya dengan membuka lahan seluas 22,04 ha di Desa Dwikarya untuk dijadikan lokasi pembibitan. Dengan 209 tenaga kerja berstatus Pekerja Harian Lepas (PHL), PT Wiramas Permai mampu membudidayakan sekitar 100 ribu bibit sawit yang siap ditanam. Proses pembibitan berjalan seiring dengan perluasan pembukaan lahan. Sampai saat ini,lokasi penanaman kelapa sawit PT Wiramas Permai dibagi menjadi 6 afdeling dan1 lokasi budidaya bibit kelapa sawi, yaitu Afdeling Alfa seluas 573,25 ha; Afdeling Delta seluas 555,23 ha; Afdeling Echo seluas 902,35 ha; Afdeling Fanta seluas 714,33 ha; Afdeling Hotel seluas 554,73 ha; Afdeling Papa seluas 749,37 ha, dan Nursery (lokasi budidaya bibit kelapa sawit) seluas31 ha.
Walaupun banyak perlawanan dari masyarakat, tetapi lokasi itu berhasil dikuasai oleh perusahaan. Sejak 2009, PT Wiramas Permai dihadapkan dengan perlawanan masyarakat Bualemo. Berbagai macam masalah yang dilahirkan oleh PT Wiramas Permai memicu bangkitnya perlawanan masyarakat Bualemo. Diantaranya adalah sengketa lahan perusahaan dengan masyarakat, sengketa ketenagakerjaan dan pelanggaran keselamatan pekerja, pengrusakan hutan dan lingkungan, semuanya itu sudah terjadi sejak awal kehadiran PT Wiramas Permai di dataran Kec.Bualemo. Hanya saja pada saat itu, masyarakat memang belum tahu hak-hak mereka, sehingga mudah dikuasai oleh PT Wiramas Permai.
Rakyat Bualemo Melawan
Sejak PT Wiramas Permai memulai ekspansinya di dataran Kec. Bualemo pada akhir 2008, terjadi pro dan kontra ditengah-tengah masyarakat. Sebagian masyarakat merasa kehadiran PT Wiramas Permai adalah sebuah anugerah. Berbagai macam alasan yang dijadikan dasarkehadiran PT Wiramas Permai didataran Bualemo bisa diterima dengan baik oleh kalangan ini. Salah satu alasan yang dominan saat itu adalah ketersediaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat Kec.Bualemo.
Alasan lapangan pekerjaan muncul tidak secara kebetulan. Berdasarkan hasil pantauan Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kab.Banggai 2008, tercatat 60% pemuda (usia produktif) tidak memiliki pekerjaan tetap (pengangguran). Sementara, secara geografis dan demografis dataran Bualemo masuk ke dalam kategori dataran tandus, sehingga mengelola pertanian tidak menarik bagi para pemuda Bualemo. Selain alasan lapangan pekerjaan, PT Wiramas Permai juga menjanjikan skema perkebunan plasma bagi para petani atau pemilik lahan yang lahannya berada dalam areal HGU dan sekitarnya. Alasan-alasan ini dijadikan bahan propaganda oleh PT Wiramas Permai dalam setiap sosialisasi yang dilakukan.
Di samping itu, terdapat pula sikap kontra berbarengan dengan sikap pro di sebagian masyarakat. Berdasarkan pemberitaan dimedia, tercatat sejak awal kehadiran PT Wiramas Permai sampai saat ini, sudah 12 kali masyarakat Bualemo mengeluhkan kehadiran PT Wiramas Permai ke pemerintah daerah Kab. Banggai. Namun, usaha itu bisa dikatakan gagal sebab sampai hari ini pihak pemerintah daerah Kab.Banggai belum menunjukkan sikap tegasnya terhadap konflik berkepanjangan antara masyarakat Bualemo dan PT Wiramas Permai.
Sikap kontra (penolakan) oleh masyarakat Kecamatan Bualemo terhadap kehadiran PT Wiramas Permai telah ditunjukkan sejak sosialisasi awal oleh PT Wiramas Permai di kantor pemerintahaan Kecamatan Bualemo pada 11 April 2008. Saat itu, masyarakat beramai-ramai mendatangi tempat pelaksanaan sosialisasi rencana operasional perkebunan sawit PT Wiramas Permai dan menyatakan sikap penolakan terhadap operasi PT Wiramas Permai didataran Bualemo.Alasannya, kehadiran PT Wiramas Permai di dataran Bualemo akan mengakibatkan kerusakan lingkungan dan memonopoli tanah produktif yang sangat luas.
Awal 2009, masyarakat kembali melakukan unjuk rasa ke pemerintah Kab.Banggai dengan tuntutan agar pemerintah kabupaten tidak memberikan Izin Usaha Perkebunan (IUP) kepada PT Wiramas Permai.Namun, perlawanan masyarakat Bualemo terhadap kehadiran PT Wiramas Permai menuai kegagalan.Pada pertengahan 2009,dengan menggunakan berbagai macam cara, PT Wiramas Permai berhasil menguasai lahan (land clearing) seluas387,10 ha untuk ditanami kelapa sawit. Kemudian dilanjutkan pada 2010,PT Wiramas Permai kembali berhasil melakukan land cearing (LC)seluas 1.904,65 ha.Di tahun 2011 bertambah seluas 419,52 ha, sampai pada 2012 seluas 467,60 ha, dan di tahun 2013 PT Wiramas Permai kembali berhasil menguasai 16,66 ha. Total lahan yang sudah dibuka saat ini kurang lebih seluas 3.182,66 ha.
Walaupun protes penolakan operasional PT Wiramas Permai gagal, masyarakat Bualemo tidak henti-hentinya melakukan perlawanan. Ditahun 2011, puluhan masyarakat Kec. Bualemo mendatangi kantor PT Wiramas Permai dengan tujuan menagih janji perusahaan menyediakan perkebunan plasma untuk masyarakat lingkar perkebunan.Penyediaan perkebunan plasma bagi masyarakat lingkar perkebunan adalah kewajiban setiap perusahaan perkebunan sawit yang beroperasi di Indonesia. Hal itu sesuai denganPasal 11 Peraturan Menteri Pertanian No. 26 tahun 2007 yang menyebutkan bahwa “setiap perusahaan perkebunan yang memiliki IUP atau IUP-B wajib membangun kebun untuk masyarakat sekitar paling rendah seluas 20% (dua puluh persen) dari total luas areal kebun yang diusahakan oleh perusahaan.”
Selain menagih janji penyediaan perkebunan plasma, masyarakat Bualemo juga menuntut dikembalikannya lahan klaim masyarakat yang telah dikuasai secara sepihak.Tercatat ada lebih dari 996 hektar lahan masyarakat yang telah diserobot danditanami kelapa sawit tanpa proses pembebasan lahan sejak tahun 2009.Namun, tuntutan-tuntutan masyarakat Bualemo tidak juga direalisasikan oleh PT Wiramas Permai. Pihak PT Wiramas Permai mengakui bahwa mereka memang telah menanami kelapa sawit di lahan masyarakat yang bersertifikat seluas 996 hektar,tetapi mereka bersikeras tidak akan mengembalikan lahan masyarakat yang telah mereka serobot.
Berbagai macam strategi digunakan masyarakat Bualemo untuk mendapatkan kembali tanah mereka. Namun, strategi-strategi itu terus berujung pada kegagalan. Pada 2013, sebagian masyarakat Bualemo yang berdomisili di Desa Malik tidak sabar lagi dengan janji-janji manis yang disampaikan oleh PT Wiramas Permai. Mereka mengambilalih kembali lahan mereka yang telah ditanami kelapa sawit (reklaiming). Dengan mengatasnamakan Kelompok Tani Mootinelo, lahan hasil reklaiming tersebut dikelola secara kolektif. Tercatat sampai hari ini, ada lebih dari 55 halahan yang berhasil direklaim oleh Kelompok Tani Mootinelo dan telah ditanami berbagai macam tanaman bulanan, antara lain jagung, kedelai, wijen, dll.
Pada 2015, rakyat Bualemo kembali menabuh genderang perlawanan. Kali ini para pekerja perkebunan kelapa sawit PT Wiramas Permai. Perlawanan para pekerja bermula dari PHK massal yang dilakukan oleh PT Wiramas Permai. Sebanyak 179 pekerja berstatus Pekerja Harian Lepas (PHL)di-PHK secara sepihak tanpa kompensasi pesangon dan hak-hak pekerja lainnya. Selain itu, para pekerja juga menuntut jaminan keselamatan kerja sesuai UUNo. 13 tahun 2003tentang Ketenagakerjaan dan UU No.1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
Sebelum para pekerja di-PHK massal, pada 26 Januari 2015,mereka sempat membentuk organisasi pekerja yang diberi nama Serikat Buruh Perkebunan Tompotika (SBPT) sesuai UUNo. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Tujuannya, agar ada alat perjuangan hak-hak pekerja perkebunan yang selama ini tidak diberikan oleh PT Wiramas Permai, seperti upah lembur, upah sesuai Upah Minimum Provinsi (UMP), cuti haid dan hamil bagi pekerja perempuan, keselamatan pekerja dan hak berunding dalam pengambilan keputusan perusahaan mengenai pekerja,serta masih banyak lagi hak lainnya yang diatur dalam UU Ketenegakerjaan.Setelah membentuk organisasi pekerja, para pekerja mulai melakukan perundingan terkait hak-hak pekerja yang sejak 2009 tidak pernah diberikan oleh PT Wiramas Permai.
Namun, perundingan-perundingan itu tidak membuahkan hasil yang memuaskan bagi pekerja. Justru sebaliknya, tanggal 21 Februari 2015,semua anggota organisasi pekerja yang berjumlah 179 orang itu di-PHK secara sepihak tanpa diberikan pesangon dan hak-hak lainnya. Upaya pemberangusan serikat buruh (union busting) dengan PHK yang dilakukan oleh PT Wiramas Permai telah melanggar ketentuan UU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Hal itu justru memancing kemarahan para pekerja perkebunan dan masyarakat Bualemo, sehingga pada bulan Maret 2015, para pekerja yang di-PHK melakukan aksi massa menuntut pemerintah daerah Kab. Banggai agar segera mencabut izin usaha perkebunan (IUP) milik PT Wiramas Permai karena telah memiskinkan masyarakat Bualemo.Adapun perjuangan rakyat Bualemo melawan PT Wiramas Permai masih berlanjut sampai saat ini.
Catatan Penutup
Fakta di atas hanyalah salah satu contoh dari ganasnya ekspansi perkebunan sawit di Indonesia yang terus-menerus menyingkirkan petani dari kepimilikan alat produksi (tanah), memeras keringat pekerja dan merusak lingkungan serta sumber daya alam hutan.Pengalaman adalah guru yang paling bijak. Kita harus berkaca pada kasus-kasus didaerah lain, seperti kasus di Mesuji dan Riau,dimana petani harus kehilangan nyawa ketika berjuang melawan praktek penjajahan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit; kasus kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimatan yang disebabkan oleh aktivitas perkebunan kelapa sawit berskala besar; yang terdekat, kasus 23 petani dipenjara oleh aparatur Negara ketika mempertahankan kepemilikan tanah mereka dari ekspansi perusahaan kelapa sawit PT Kurnia Luwuk Sejati; kasus penyerobotan lahan petani Kec. Batui dan Batui Selatan yang dilakukan oleh PT Sawindo Cemerlang dan PT Delta Subur Permai (DSP), serta yang terbaru adalah kasus kematian alm.Yustus Sanganda, seorang lelaki tua yang konsisten mempertahankan lahan perkebunan keluarga dari ekspansi perkebunan sawit milik PT DSP, namun harus kehilangan nyawa ditengah-tengah lokasi perkebunan kelapa sawit PT DSP.
Penyerobotan lahan, pengrusakan lingkungan, PHK dan pemberangusan organisasi rakyat (serikat buruh dan serikat tani) adalah keharusan bagi setiap perusahaan perkebunan kelapa sawit untuk mengejar keuntungan (surplus) sebesar-besarnya.Adapun kemiskinan, pembodohan serta marginalisasi adalah hadiah bagi rakyat Indonesia. Penderitaan rakyat Bualemo mengingatkan kita pada praktek penjajahan VOC terhadap rakyat Indonesiabeberapa ratus tahun lalu. Untuk itu,mari satukan tekad kita. Jangan pernah mundur selangkah pun sebelum kemerdekaan yang dijanjikan oleh pendiri bangsa ini benar-benar kita rasakan bersama. (Syamsul Bahri Panigoro)
Catatan:
- Peraturan Menteri Pertanian No. 26 tahun 2007 telah diubah menjadiPeraturan Menteri Pertanian No. 98 tahun 2013.
- Teknik pengumpulan data dalam tulisan ini dilakukan dengan cara wawancara, pengumpulan dokumen dan pustaka.
Tulisan ini pernah dimuat di dalam Seputar Rakyat, Edisi 1 Tahun 2016, yang diterbitkan Yayasan Tanah Merdeka (YTM). Dimuat ulang di sini untuk tujuan pendidikan.