Pertambangan dan Kekerasan

Oleh: Arianto Sangaji

Organisasi untuk Kerja Sama dan Pengembangan Ekonomi (OECD) dalam laporan tahun 2012 mengenai indeks peraturan yang menghambat investasi asing langsung (FDI) cukup menarik. Pengukurannya memakai skala antara 0 (sangat terbuka) dan 1 (sangat tertutup) untuk melukiskan negara paling terbuka dan paling tertutup bagi FDI. Dalam sektor pertambangan (termasuk minyak dan gas), skor Indonesia lumayan terbuka (0,073), lebih baik daripada negara anggota G-20 yang kaya mineral seperti Australia (0,80), Amerika Serikat (0,100), dan Kanada (0,150). Artinya, di industri pertambangan, Indonesia adalah negeri paling liberal dibanding negeri-negeri kapitalis paling maju sekalipun.Indeks tersebut sebenarnya menunjukkan manifestasi permukaan dari sukses penerapan kebijakan neoliberal di sektor ini. Prinsip neoliberalisme adalah penghilangan risiko sirkulasi kapital secara global. Dari segi komersial, maka sistem perpajakan, asuransi, dan instrumen keuangan lainnya harus tidak berisiko bagi arus kapital. Tetapi, paling pokok adalah risiko politik, yakni jaminan akses terhadap tanah dan mineral di dalamnya dan kontrol terhadap tenaga kerja; dua soal kunci dalam proses produksi industri ini.

Fungsi negara, yakni negara neoliberal, adalah memastikan risiko-risiko itu ditiadakan atau ditekan serendah mungkin. Indonesia sukses menekan risiko-risiko itu, yang memungkinkan korporasi transnasional pertambangan leluasa beroperasi.

Imperialisme baru

Kita tahu, kekhususan industri pertambangan adalah kapital yang ditanam di sektor ini tidak bisa bergerak, semenjak deposit mineral terkonsentrasi di tempat dan di dalam teritori tertentu. Implikasinya, industri pertambangan mensyaratkan akses pasti dan eksklusif terhadap tanah dan mineral yang terkandung di dalamnya untuk dikonversi sebagai alat produksi.

Kondisi yang diperlukan agar ekstraksi mineral dapat dilakukan adalah memberlakukan hubungan kepemilikan kapitalistik atas tanah dan mineral. Caranya, liberalisasi hak atas tanah dan mineral melalui mekanisme sewa tanah, di mana negara mengeruk distribusi keuntungan dari pajak, termasuk royalti.

Kendati UUD 1945 menegaskan kedaulatan nasional negara atas tanah dan sumber daya alam, fakta menonjolnya: penguasaan transnasional kapital di sektor ini memperlihatkan bahwa kedaulatan nasional atas mineral tidak mutlak, tetapi dapat dinegosiasikan. Biarpun negara tetap/masih eksis, kapitalisme global secara efektif telah menjungkirbalikkan kedaulatan sebuah negara, di mana kapitalis transnasional mendeterminasi proses pembuatan kebijakan mengenai sirkulasi kapital di permukaan bumi melalui aneka mekanisme global dari sistem hubungan antarnegara. Inilah ciri dari imperialisme baru.

Sejak kapital pertambangan tersentralisasi di tangan fraksi kelas kapitalis transnasional, liberalisasi hak atas tanah dan mineral sebenarnya cermin adidaya kelas ini. Mereka menekan pemerintah menjauh dari kebijakan reforma agraria dan mempromosikan kebijakan monopoli tanah dan mineral di tangan kelas ini, sekaligus merendahkan sewa tanah—termasuk royalti murah—sehingga mengeruk surplus lebih besar. Kesulitan Pemerintah Indonesia melakukan negosiasi ulang kontrak karya dengan perusahaan transnasional merupakan contoh empirik betapa loyonya kekuasaan sebuah negara nasional di hadapan fraksi kelas kapitalis transnasional.

Ia menjadi soal karena industri pertambangan beroperasi bukan di wilayah hampa hak milik. Ada jutaan petani dengan sistem kepemilikan atas tanah yang tidak atau belum berkembang menurut hubungan kapitalistik. Liberalisasi hak atas tanah dan mineral bermakna sederhana: rampas dan hancurkan hubungan kepemilikan non-kapitalis atas tanah dan dengan demikian menghancurkan perekonomian pedesaan berbasis pertanian.

Situasi kian buruk semenjak kebijakan-kebijakan liberal diserahkan kepada para kepala daerah dengan kewenangan memberikan izin usaha pertambangan berskala menengah-kecil. Perampasan tanah secara paksa dan berdarah-darah untuk mengeruk mineral kian meluas.

Implikasi kedua, dalam hubungan ketenagakerjaan, sekalipun rezim neoliberal melalui strategi fleksibilitas secara fundamental melemahkan keseluruhan kelas pekerja, kontrol terhadap buruh industri pertambangan berlipat-lipat dibanding industri lain. Eksploitasi tenaga kerja pertambangan selalu dibarengi kontrol negara yang ekstra ketat guna mencegah resistensi buruh yang keras. Pemogokan buruh PT Freeport beberapa waktu adalah contohnya, di mana resistensi besar-besaran buruh dibalas dengan serangan aparat keamanan yang mematikan.

Kekerasan sistemik

Dengan melihat aspek keamanan akses atas tanah dan tenaga kerja dalam industri pertambangan, maka kekerasan yang kerap terjadi berakar pada keharusan mengenyahkan risiko ekspansi global kapital. Dengan kata lain, kekerasan bukan semata karena aparat keamanan melibatkan diri dalam konflik, tetapi bersifat endogen, yakni tumbuh dari dalam sistem yang berorientasi pada akumulasi tanpa batas ini.

Filosof Slavoj Zizek menyebutnya sebagai kekerasan sistemik (systemic violence): tidak saja berkenaan dengan kekerasan fisik langsung, tetapi mengambil bentuk kekerasan lebih halus dan tidak kasatmata dalam wujud hubungan dominasi dan eksploitasi di bawah kapitalisme. Tanpa menyoal aspek mendasar ini, maka tindakan kekerasan dalam sengketa tanah dan buruh dalam industri ini akan terus berputar, seperti ”arisan”: pindah dari satu pulau ke pulau lain, di negeri yang kaya mineral ini.

Penulis adalah Kandidat PhD di York University, Toronto

Sumber: http://cetak.kompas.com/read/2012/08/15/03004041/pertambangan.dan.kekerasan