Pertumbuhan Ekonomi di Tengah Ketimpangan: Menggali Dampak Sosial dan Lingkungan dari Industri Nikel di Sulawesi Tengah
Pada Triwulan II tahun 2024, Produk Domestik Regional Bruto Sulawesi Tengah mengalami pertumbuhan sebesar Rp. 95.360,93 milyar. Progresnya ekonomi Sulawesi Tengah ditopang usaha strategis seperti Industri Pengelolahan 6. 83%, pertambangan dan galian 1,05% serta pertanian kehutanan dan perikanan menyumbang 0,60% sumber pertumbuhan untuk PDRB Sulawesi Tengah. Maka, secara nasional Pulau Sulawesi [inklud SulawesiTengah] menyumbang pertumbuhan sebesar 7,61% terhadap 34 provinsi di Indonesia dengan pertumbuhannya 6,07% dari tahun ke tahun.[1]
Jika melihat angka-grafis ini ekonomi Sulawesi Tengah masih mengandalkan sumber-sumber ekstraktif seperti pertambangan disertai pengelolaanya yaitu smelter di kawasan industri transnasional. Sektor tersebut memberikan permintaan ekonomi secara agregat akibat trend positif pertumbuhan ekonomi di Sulawesi Tengah serta di nasional secara khusus. Namun, jika ditelisik secara dialektis pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tengah mengindikasikan tahapan akumulasi kapital yang meningkatkan ketimpangan kelas disektor industri pengelolaan dan pertambangan yang menjadi unggulanekonomi di Sulawesi Tengah.
Makna kunci secara filosofis tulisan ini yaitu pertumbuhan maksimum ekonomi Sulawesi Tengah yang ditunjang ketimpangan kelas sosial alias eksploitasi.
***
Morowali dan Morowali Utara menjadi pusat fokus industriawan untuk mengeruk sumber mineral menjadi produk unggulan mereka. Nikel, akhir-akhir ini telah menyita perhatian beberapa kelompok yang berkelindan seperti pelaku usaha, pemerintah serta politisi di level hirarkis, insan akademik, aktivis Ornop, dan terakhir buruh berserikat. Mengapa nikel menjadi perhatian sentral, karena nikel komoditas yang menyimpan gambaran khusus hubungan produksi yang timpang.
Disebutkan di atas bahwa 1,05 % aktivitas pertambangan menyumbang PDRB di Triwulan II tahun 2024. Tentu angka persen ini masuk akal apabila melihat ‘hamparan’ IUP operasi produksi serta IUP eksplorasi yang tersebar.
Jumlah IUP Nikel di Provinsi Sulawesi Tengah
Kabupaten | Jumlah IUP | Luasan IUP (Hektar) |
Morowali | 53 | 118.139 |
Morowali Utara | 38 | 69.156 |
Banggai | 21 | 61.752 |
Tojo Una-Una | 1 | 10.800 |
Sumber Informasi : PPT Gubernur Sulawesi Tengah Tentang Peluang dan Peran Investasi Nikel 2020 s.d 2022.
Dengan data jumlah IUP dan luasannya ini maka tak heran pertambangan ikut memeriahkan pertumbuhan PDRD Triwulan II-2024 di Sulawesi Tengah. Tapi, dari semua angka ini, pertumbuhan Sulawesi Tengah yang positif akibat tambang-tambang nikel tidak sebanding dengan laju deforestasi yang meningkat juga tiap tahun. Berdasarkan data BPS Sulawesi Tengah total angka deforestasi di Sulawesi Tengah dari 2021-2022 sebesar 5.760,5 hektar.[2]
Sejak Sulawesi Tengah didaulatkan sebagai provinsi cadangan nikel yang melimpah ruah, aktivitas pertambangan nikel berhamburan di beberapa wilayah administratif provinsi ini, tak terkecuali Banggai dan Tojo Una-Una. Awalnya, nikel hanya ditambang kemudian diekspor ke luar negeri, tetapi setelah kebijakan hilirisasi nikel, pengusaha tambang berbondong-bondong melakukan joint venture dengan pengusaha luar negeri untuk membangun smelter. Seperti Bintang Delapan Group dengan Shanghai Decent Invesment yang membangun PT IMIP.
Perusahaan Bitang Delapan sendiri, para bosnya purnawirawan Tentara yang berkarir sebagai pengusaha.
Struktur Kepemimpinan Bintang Delapan Grup dan Anak Usaha
Nama | Jabatan | Perusahaan |
Letnan Jenderal (Purn.) Sintong Panjaitan | Presiden Komisaris | Bintang Delapan Grup |
Mayor Jenderal (Purn.) Hendardji Supandji | Presiden Komisaris | Bintang Delapan Investama (Anak Usaha Bintang Delapan Grup) |
Sumber Informasi : Mongabay 12 Mei 2014
Perusahaan Bintang Delapan [milik Purnawirawan Jendral] memiliki konsesi 21.695 hektar di sembilan Desa di Morowali, yakni Bahomoahi, Bahomotefe, Lalampu, Lele, Dampala, Siumbatu, Bahodopi, Keurea, dan Fatufia. Operasi produksi Bintang Delapan resmi 2009, diperkirakan berakhir 2025.[3] Sebelumnya di tahun 2008 yang lalu, Bintang Delapan mendapatkan izin di atas kontrak karya PT Vale dengan PT Rio Tinto melalui Bupati Morowali ketika itu bernama Anwar Hafid. Tumpang tindih antara izin perusahaan tambang nikel ini berbuntut pada gugatan PT Rio Tinto kepada Anwar Hafid di PTUN [Pengadilan Tata Usaha Negara], putusan pengadilan saat itu tidak mengabulkan gugatan Rio Tinto sehingga Bintang Delapan berhasil merebut izin di kawasan Rio Tinto.[4]
Sejak Bintang Delapan menguasai nikel, kerusakan lingkungan kerap kali terjadi seperti banjir dan tanah longsor. Selain bencana, konflik lahan antara Bintang Delapan dengan masyarakat sekitar jadi pelengkap cerita buruk pertumbuhan nikel yang menyumbang PDRB di Sulawesi Tengah.
Tak hanya Bintang Delapan di Morowali, Kabupaten yang mekar di 2013 yaitu Morowali Utara punya perusahaan tambang nikel yang rakus lahan dan eksploitatif juga. Perusahaan itu PT Central Omega Resources [COR] serta anak perusahaannya seperti PT Mulia Pasific Resources [MPR].
***
Perkembangan ekonomi di Sulawesi Tengah pada Triwulan II tahun 2024 mencatatkan kontribusi besar dari sektor pertambangan, khususnya nikel, yang mencapai angka signifikan. Namun, penting untuk melihat lebih dalam bahwa di balik pertumbuhan ekonomi yang pesat ini terdapat berbagai dinamika sosial, lingkungan, dan ekonomi yang perlu ditelisik lebih jauh.
Ketergantungan pada Ekstraksi Sumber Daya Alam
Sulawesi Tengah terus menggantungkan pertumbuhan ekonominya pada industri ekstraktif, terutama pertambangan nikel. Jumlah IUP yang tersebar di berbagai kabupaten, seperti Morowali, Morowali Utara, dan Banggai, menunjukkan skala besar dari operasi pertambangan ini. Tidak hanya itu, banyak dari perusahaan ini kini telah beralih ke hilirisasi dengan membangun smelter untuk meningkatkan nilai tambah nikel yang diekstraksi. Hal ini terlihat dari kemitraan perusahaan lokal, seperti Bintang Delapan Grup, dengan perusahaan asing seperti Shanghai Decent Investment yang menghasilkan perusahaan besar seperti PT IMIP (Indonesia Morowali Industrial Park).
Kehadiran smelter ini diharapkan mampu meningkatkan kontribusi nilai ekonomi secara nasional dan daerah. Namun, ada berbagai pertanyaan besar terkait keberlanjutan model ekonomi ini. Ketergantungan yang besar pada sektor pertambangan sebagai motor utama perekonomian daerah membuat Sulawesi Tengah rentan terhadap fluktuasi harga komoditas global. Apabila harga nikel jatuh, ekonomi daerah tersebut bisa mengalami tekanan yang signifikan. Belum lagi masalah diversifikasi ekonomi yang lambat, membuat sektor lain seperti pertanian, perikanan, dan pariwisata kurang berkembang.
Dampak Sosial: Ketimpangan dan Konflik
Ketimpangan sosial yang terjadi di sekitar pertambangan nikel tidak dapat dipungkiri. Seperti yang disebutkan sebelumnya, struktur kepemilikan perusahaan-perusahaan besar seringkali berada di tangan para elit yang memiliki akses politik dan ekonomi yang kuat. Para purnawirawan jenderal, seperti yang menduduki posisi kepemimpinan di Bintang Delapan Grup, adalah contoh nyata bahwa industri tambang ini lebih banyak didominasi oleh kalangan elit daripada melibatkan masyarakat lokal secara luas.
Selain itu, keberadaan industri tambang dan smelter di wilayah seperti Morowali dan Morowali Utara telah memicu berbagai konflik sosial. Masyarakat lokal, terutama petani dan nelayan, sering kali harus bersaing dengan perusahaan-perusahaan besar untuk mendapatkan akses lahan. Pertambangan nikel yang masif telah merampas lahan-lahan pertanian produktif, yang menyebabkan hilangnya mata pencaharian bagi masyarakat setempat. Mereka yang sebelumnya bergantung pada sektor agrikultur kini terdesak oleh ekspansi industri tambang, yang seringkali mengabaikan hak-hak masyarakat lokal.
Ketimpangan ini tidak hanya terjadi dalam kepemilikan aset dan akses terhadap sumber daya, tetapi juga dalam hal kesejahteraan pekerja tambang itu sendiri. Di banyak tempat, buruh tambang bekerja dalam kondisi yang tidak aman dengan upah yang tidak sepadan dengan risiko yang mereka hadapi. Meskipun sektor tambang berkontribusi besar terhadap PDRB daerah, manfaat ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat lokal sangat minim. Sebagian besar keuntungan yang dihasilkan justru mengalir ke perusahaan-perusahaan besar dan pemegang saham yang tidak berdomisili di Sulawesi Tengah.
Kerusakan Lingkungan yang Masif
Salah satu dampak terbesar dari pertambangan nikel di Sulawesi Tengah adalah kerusakan lingkungan yang terus berlangsung. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, laju deforestasi di Sulawesi Tengah dari tahun 2021 hingga 2022 mencapai 5.760 hektar. Hilangnya hutan primer dan sekunder akibat pembukaan lahan untuk pertambangan tidak hanya mengurangi tutupan hutan, tetapi juga mengancam keanekaragaman hayati dan memperburuk risiko bencana alam seperti banjir dan tanah longsor.
Di Morowali, salah satu wilayah konsesi tambang terbesar, laporan dari Mongabay mencatat bahwa kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pertambangan Bintang Delapan telah menyebabkan seringnya terjadi banjir bandang. Tanah yang gundul akibat eksploitasi tambang tidak lagi mampu menahan air hujan, yang pada akhirnya menyebabkan banjir besar di desa-desa sekitarnya. Hal ini menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat, baik dari segi materi maupun keselamatan jiwa.
Selain itu, pertambangan nikel juga berdampak pada kualitas air di sekitar area tambang. Limbah tambang, terutama tailing, sering kali mengalir ke sungai-sungai dan mencemari sumber air yang menjadi kebutuhan utama masyarakat lokal. Tidak jarang sungai-sungai yang sebelumnya menjadi tempat masyarakat mencari ikan dan memenuhi kebutuhan air bersih, kini berubah menjadi aliran air yang tercemar oleh bahan kimia berbahaya. Hal ini meningkatkan risiko penyakit dan menurunkan kualitas hidup masyarakat yang tinggal di sekitar area tambang.
Kesimpulan
Pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tengah pada Triwulan II tahun 2024 menunjukkan ketergantungan yang kuat pada sektor ekstraktif, khususnya pertambangan nikel, yang memberikan kontribusi signifikan terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Meski industri ini membawa investasi besar dan menciptakan lapangan kerja, dampaknya tidak sepenuhnya merata di masyarakat. Ketimpangan sosial semakin mencolok dengan hadirnya elite ekonomi yang menguasai sektor pertambangan, sementara masyarakat lokal sering kali terpinggirkan dari proses pengambilan keputusan dan hanya sedikit menerima manfaat langsung. Kehadiran perusahaan tambang besar, terutama yang dimiliki oleh purnawirawan militer dan pengusaha asing, telah menciptakan dinamika kekuasaan yang tidak seimbang, di mana akses terhadap lahan, sumber daya, dan keuntungan ekonomi lebih dinikmati oleh segelintir pihak.
Namun, pertumbuhan ekonomi ini juga dibarengi dengan konsekuensi lingkungan yang serius. Deforestasi besar-besaran dan pencemaran lingkungan akibat aktivitas pertambangan menimbulkan kerusakan yang merugikan ekosistem serta kehidupan masyarakat setempat. Di sisi lain, regulasi yang lemah dan tumpang tindih izin tambang memperparah konflik sosial dan hukum antara perusahaan, masyarakat, dan pemerintah. Oleh karena itu, meskipun sektor tambang nikel memberikan kontribusi positif terhadap angka pertumbuhan ekonomi, keberlanjutannya menjadi tanda tanya besar jika aspek-aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan tidak ditangani secara holistik. Upaya yang lebih serius dalam reformasi regulasi, pengawasan lingkungan, dan partisipasi masyarakat lokal dalam proses pengambilan keputusan sangat penting untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif di Sulawesi Tengah.
[1] Infografis BPS Sulawesi Tengah, dirilis 5 Agustus 2024.
[2] Angka tersebut diambil dari Angka Deforestasi (Netto) Indonesia di Dalam dan di Luar Kawasan Hutan Tahun 2013-2022 (Ha/Th). Dirilis/diperbaharui 15 Januari 2024.
[3]Fokus Liputan Mongabay 12 Mei 2024.
[4] Ibid, ulasan atas Liputan Mongabay yang terbit 12 Mei 2024.