POLRI DAN TNI JUSTRU HARUS LUCUTI SENJATA DI POSO

Kepala-kepala desa di kabupaten Poso minta diberi izin memiliki senjata. Hal tersebut disampaikannya kepada Kapolri, Panglima TNI dan Mendagri dalam sebuah pertemuan di rumah dinas bupati Poso. Alasannya karena sudah ada 3 kepala desa menjadi korban. Menurut Anto Sangaji, polisi dan TNI justru harus melucuti senjata dan memotong peredaran amunisi. Demikan tegas koordinator Yayasan Tanah Merdeka ini kepada Radio Nederland. Anto Sangaji (AS): Ini sebetulnya cermin dari frustrasi dimasyarakat. Masyarakat frustrasi karena berbagai tindak kekerasan bersenjata yang terjadi di Poso selama ini tidak bisa ditangani oleh polisi. Polisi tidak bisa antisipasi munculnya kekerasan bersenjata, penembakan misterius, pemboman dan seterusnya itu. Sehingga kepala-kepala desa sudah merasa tidak percaya dengan kemampuan polisi. Nah, menurut saya pendapat kepala-kepala desa ini sebetulnya mencerminkan sikap ketidak percayaan mereka terhadap kemampuan polisi dalam menangani kekerasan Poso yang sudah bertahun-tahun.

Radio Nederland (RN): Ini berarti merupakan kritikan yang tidak langsung kepada polisi sendiri ya?

AS: Saya kira mereka menyampaikan kritik dengan caranya sendiri untuk meminta memiliki senjata api. Tapi menurut pesan yang disampaikan adalah mengapa polisi tidak bisa memberikan jaminan keamanan kepada warga Poso sementara begitu banyak pasukan sudah dikerahkan di sana.Tapi kekerasan tetap saja berlanjut terjadi. Misalnya selama bulan puasa orang mati bergilir-gilir begitu. Ada penembakan misterius, ada pembunuhan secara misterius. Dan kemarin lagi ada pemboman secara misterius yang mematikan sekitar enam orang warga Poso itu. Seharimenjelang lebaran.

RN: Bagaimana menurut anda sebaiknya polisi menyikap hal ini? Apakah harus memberi izin memiliki senjata?

AS: Saya tidak setuju. Polisi jangan memberikan senjata kepada warga Poso, apalagi kepada kepala-kepala desa. Bagaimana pun suatu problem yang dihadapi di Poso adalah tanpa diminta pun oleh warga Poso, senjata-senjata api itu kan beredar di tengah warga. Sebagian warga memiliki senjata api. Apakah itu senjata standar tempur yang biasa dipakai oleh militer atau pun senjata rakitan.

Menurut saya yang paling dilakukan adalah aparat keamanan bisa mengontrol peredaran senjata itu. Misalnya dengan memutus pemasok yang masuk ke tengah-tengah warga. Terus yang kedua berhubungan juga dengan amunisi. Amunisi senjata apa terutama dengan produksi PT Pindad dan begitu banyak beredar di antara warga. Dan aparat keamanan sama sekali nggak bisa ngontrol itu semua. Jadi bagi saya ini lucu sebetulnya.

Jadi, bagi saya kembali lagi bahwa polisi harus menempatkan dirinya benar-benar secara tegas bahwa mereka bisa menjamin rasa aman bagi

warga Poso. Yang perlu dilakukan polisi adalah bisa melucuti semua senjata yang beredar di tengah-tengah warga dan kemudian memotong mata rantai peredaran senjata sampai ke tengah warga sipil di Poso. Jadi tindakan yang paling tepat adalah memotong mata rantai peredaran senjata itu langsung dari hulunya gitu. Langsung dari PT Pindad. Itu langkah yang paling tepat menurut saya.

RN: Menurut anda itu siapa yang sebenarnya masih berkuasa, berwewenang terhadap senjata itu? TNI maksudnya?

AS: Ya tentu saja. Karena PT Pindad miliknya TNI kan. Jadi mestinya polisi harus tidak ragu-ragu untuk menginvestigasi institusi Pindadnya sendiri dan TNI dalam kaitan dengan peredaran senjata ini. Terutama berkaitan dengan peluru amunisi yang memang di lapangan banyak sekali fakta membuktikan bahwa peluru-peluru itu bersumber dari PT Pindad. Kalau senjata api kan sumbernya macam-macam juga. Ada yang bisa diselundupkan dari luar negeri segala macam. Yang yang jelas-jelas terlihat dengan kasat mata di lapangan itu adalah amunisi buatan PT Pindad. Yang misalnya kaliber 5,6 mm itu beredarnya seperti kacang goreng saja di Poso.

Terus kemudian yang lain menurut saya penting di Poso ini adalah harus ada semacam otokritik sendiri dari pihak aparat keamanan, TNI dan Polri, berkaitan dengan kekerasan yang berlanjut di Poso ini. Nah, selama ini kan setiap muncul kekerasan, kita sepertinya sudah punya jawaban Polisi dan TNI bahwa ada kelompok masyarakat yang masih menyimpan dendam dan seterusnya. Dan menurut saya, pendekatannya harus dirubah. Setiap muncul kekerasan, mestinya aparat keamanan yang bertugas di Poso, TNI maupun Polri, pimpinan-pimpinannya harus berani bertanggung jawab. Jadi mereka harus berani mengambil alih tanggung jawab setiap kali terjadi kekerasan. Mereka harus berani mengundurkan diri misalnya.

Demikian Anto Sangaji dari Yayasan Tanah Merdeka.