Proyek Kekerasan di Sulawesi Tengah

SUDAH lebih dari lima tahun, kekerasan terus terjadi di Sulawesi Tengah. Sejak pertengahan Oktober hingga November lalu, Poso kembali berdarah-darah oleh penembakan, pembunuhan, dan peledakan bom secara misterius. Kini, giliran Palu dilanda kekerasan misterius. Tanggal 12 Desember 2004, dua gereja di kota itu menjadi sasaran peledakan bom dan penembakan misterius. Akibatnya, tiga warga cedera.

Peristiwa ini menambah daftar panjang korban kekerasan misterius di Sulawesi Tengah, terutama pasca-Deklarasi Malino Desember 2001. Kekerasan terakhir yang terjadi di Palu bukan merupakan peristiwa baru. Lima bulan lalu Pendeta Susianti Tinulele (29) tewas ditembak di kepalanya oleh penembak jitu tak dikenal ketika ia memberikan khotbah di Gereja Effata. Sejak tahun 2000 di Palu sebenarnya sudah terjadi berbagai bentuk kekerasan, seperti penembakan, peledakan bom, dan ancaman teror. Bedanya, kekerasan itu berlangsung sporadis dan tertutup. Tidak seperti di Poso, kecuali dalam beberapa tahun terakhir, kekerasan di sana pernah berlangsung terus-menerus dan terbuka.
Sejumlah pihak menganggap peristiwa di Palu itu sebagai usaha memperluas kekerasan, yakni dengan memperluas wilayah kekerasan yang tidak saja mencakup Kabupaten Poso, Morowali, dan Tojo Una-Una, tetapi juga meliputi Kotamadya Palu dan sekitarnya. Dengan demikian, kekerasan menjadi kian rumit karena mencakup wilayah lebih luas.

Namun, usaha perluasan itu sulit terwujud. Karena, secara demografis Palu amat jauh berbeda dengan Poso. Komposisi penduduk berdasar agama di Palu tidak sedemikian segregatif dan eksplosif seperti di Poso. Karena itu, teror-teror misterius untuk “mengadu domba” warga yang berbeda agama tidak pernah sukses mendorong eskalasi kekerasan di Palu.

Oleh karena itu, kekerasan yang terjadi di Palu sebenarnya lebih dimaksudkan untuk dua hal. Pertama, memelihara ketakutan warga. Tidak penting, apakah di Palu atau Poso, kekerasan memupuk ketakutan yang sudah menahun di kalangan warga di daerah ini. Kedua, mempertahankan kecurigaan antarwarga. Serangan terhadap tempat ibadah dimaksudkan untuk melestarikan kecurigaan antarumat bergama. Kekerasan seperti itu yang berulang secara sporadis diperlukan guna memberi citra, daerah ini dilanda konflik etnoreligius yang serius.

KEKERASAN di Sulawesi Tengah, khususnya di Poso, telah diikuti mengalirnya dana ratusan miliar rupiah untuk berbagai proyek. Di antaranya untuk rehabilitasi fisik, pengembangan ekonomi, pemulangan pengungsi, pemulihan keamanan, dan rekonsiliasi. Namun, jika memerhatikan secara jeli, berbagai proyek itu dapat disebut “proyek kekerasan”. Karena, sama sekali tidak menyumbang terhadap pemulihan keamanan.

“Proyek kekerasan” itu hadir dalam beberapa bentuk. Pertama, merajalelanya korupsi oleh birokrasi pemerintah dalam proyek-proyek kemanusiaan. Seperti diketahui, sejumlah pejabat mengorupsi dana-dana untuk rehabilitasi fisik dan pemulangan pengungsi. Contoh paling nyata dugaan korupsi yang melibatkan bekas Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial Poso dan jejaringnya (aparat kejaksaan, polisi, kepala desa, dan pengusaha), yang ironisnya malah menjadi pejabat Bupati Poso. Dengan sinis, warga Poso menggambarkan dahsyatnya korupsi karena kekerasan dengan kalimat, “Rakyat dapat super mi (mi instan), pejabat dapat super kijang (mobil).”

Kedua, berlanjutnya “proyek” operasi pemulihan keamanan. Pemerintah telah menggelar berbagai operasi pemulihan keamanan di Poso selama waktu tertentu. Pasca-Deklarasi Malino, pemerintah menggelar operasi Sintuwu Maroso yang melibatkan ribuan Polri dan TNI. Setiap operasi memerlukan dana miliaran rupiah bersumber dari APBN dan APBD Provinsi Sulawesi Tengah, Kabupaten Poso, dan Kabupaten Morowali. Seperti sudah menjadi pola, setiap berakhir atau hendak berakhir operasi Sintuwu Maroso selalu didahului atau diikuti munculnya kekerasan baru. Maka, operasi Sintuwu Maroso pun diperpanjang dengan mempertahankan pasukan yang sudah ada atau menambah pasukan non-organik yang baru. Dana pun kembali mengalir.

Tidak saja secara ekonomis, tetapi kekerasan yang berlanjut di Sulawesi Tengah juga memberi keuntungan politik. Sejumlah pejabat militer (TNI dan Polri) yang bertugas di daerah ini memperoleh promosi atau jabatan di tengah letupan kekerasan. Begitu juga di lingkungan sipil. Seorang pimpinan di Dinas Kesejahteraan Sosial Sulawesi Tengah justru ditunjuk menjadi Pejabat Sementara Bupati Poso kendati korupsi dana pengungsi berlangsung marak di bawah lingkup tanggung jawabnya.

Jangan heran jika kemudian berbagai proyek itu sama sekali tidak menyumbang terhadap meredanya kekerasan. Limpahan dana yang mengalir justru berbarengan dengan limpahan darah. Kekerasan tetap terjadi dan muncul setiap saat. Memang serangan terbuka, seperti sebelum Deklarasi Malino sudah tidak terjadi. Namun, penembakan, pembunuhan, dan peledakan bom yang dilakukan orang atau kelompok misterius tetap terjadi.

Kedua, memberikan hukuman (punishment) kepada pejabat pemerintah, sipil dan militer, jika kembali terjadi kekerasan atau karena hal-hal lain yang terkait dengannya. Tindakan Kepala Polda Sulawesi Tengah dengan memberhentikan Kepala Polresta Palu dan Kepala Polsek Palu Selatan dari jabatannya menyusul penyerangan dua gereja merupakan contoh baik. Inilah untuk pertama kali dalam sejarah kekerasan di Sulawesi Tengah sejak tahun 1998, seorang pejabat setingkat kepala polres dicopot dari jabatannya. Idealnya, tindakan yang sama juga harus dilakukan di lingkungan pejabat sipil.
Arianto Sangaji Direktur Pelaksana Yayasan Tanah Merdeka di Palu dan Koordinator Koalisi Damai Sulawesi Tengah.

Sumber : Kompas
Oleh Arianto Sangaji