PT. KLS Diduga Rambah Kawasan Konservasi
Dugaan perambahan itu diduga berbekal dua izin yang dikeluarkan oleh pemerintah setempat, yaitu izin Hak Guna Usaha (HGU) seluas 6010 ribu Hektar dan izin Hutan Tanaman Industri (HTI) Seluas 13 ribu Hektar.
Direktur Jatam Sulteng, Syahrudin Ariestal D mengatakan, HGU milik PT. KLS seluas 6010 Hektare itu berada di Kecamatan Toili, sedangkan HTI berada di Kecamatan Toili Barat dengan luas 13 ribu Hektare.
PT KLS diduga menggunakan modus berpura-pura menyuruh petani membentuk kelompok tani di diwilayah tersebut untuk mengajukan permohonan percetakan sawah dan permohonan perambahan hutan ke pemerintah setempat dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Banggai. Akibatnya, masyarakat sekitar menjadi korban tindakan PT KLS tersebut.
“Jadi kami menemukan walaupun dia memiliki izin, tetapi perusahaan ini melakukan aktivitas yang melanggar Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan maupun Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 Tentang Kehutanan” beber Syahrudin saat Konfrensi pers hasil investigasi lapangan di Kantor AJI Sulteng, Kamis (28/8).
Menurut Syahrudin, pelanggaran terhadap UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang perkebunan yang dilakukan PT KLS yaitu setelah mengantongi izin HGU, seharusnya pihak PT KLS wajip mengurus izin usaha perkebunan atau izin prinsip. Kenyataanya kata Syahrudin pihak perusahaan tidak mengindahkan hal itu.
“Meskipun PT KLS memiliki HGU tetapi izin peruntukan kawasan dalam hal ini izin prinsip itu tidak ada,” ungkapnya.
Sebelumnya, PT. KLS ini sejak tahun 1995 menguasai 13.000 hektare izin HTI dan 6010 Ha Hak Guna Usaha (HGU) Di kecamatan Toili. Yang masuk dalam wilayah 17 desa di kecamatan Toili dan Toili Barat. Dari 17 desa tersebut terdapat daua wilayah desa transmigrasi, yaitu Desa Piondo seluas 275 Hektare dan desa Bukit Jaya seluas kurang lebih 1.000 Haektare, Merupakan desa Transmigrasi asal Jawa-Bali, yang masuk dalam tiga gelombang sejak tahun 1982-1986.
Sejak hadirnya PT KLS ini urai dia, juga tak luput dengan adanya perampasan lahan transmigran dan petani local. Selain itu juga telah menyebabkan kerusakan hilangnya kawasan hutan dan sungai sebagai sumber kehidupan para petani. Sawit telah membuat sungai jadi kering, padahal petani sangat membutuhkannya untuk kepentingan pengairan sawah, dan kebutuhan hidup sehari-hari.
Praktek penghancuran lingkungan ini lanjut dia, telah dilaporkan petani ke Mapolres Banggai dengan laopran Polisi Nomor: STPL/183/III/2010/Sulteng/Res Banggai, Tertanggal 17 Maret 2010. Anehnya, Hingga saat ini, kepolisian setempat tidak melakukan tindakan Hukum atas laporan tersebut.
Sebelumnya, Tahun 2001 PT KLS juga mengklaim miliki HGU seluas 6.010 Hektare, yang di tanami kakao seluas kurang lebih 4 ribu Hektare dan kelapa sawit 2.010 hekatre. Namun dalam temuan hasil investigasi yang dilakukan YTM dan Jatam Sulteng, bahwa PT KLS tidak memiliki Izin Usaha Perkebunan atas lahan yang diklaim. Juga, kawasan yang diklaim ada di atas tanah hak milik Warga dengan serstifikat Sah. Tindakan Melawan Hukum yang di lakukan PT. KLS ini telah di laporkan ke Polres Banggai oleh petani bersama LBH Sulawesi Tengah dengan laporan Polisi Nomor: LP/655/XI/2009/SPK tertanggal 12 November 2009. Atas hasil investigasi dirjen perkebunan sebut perkebunan ini paling buruk dalam catatan di Sulteng.
Maka, lanjut dia, melalui data-data tersebut pihaknya melaporkan hal itu keporles Banggai pada tahun 2009. Diakhir sejak bulan april 2010, Polisi telah menetapkan Murad Husein seabagai Tersangka, namaun tidak ditahan.
“Hasilnya, akhir 2009 pemilik perusahaan ini yaitu Murai Husain di tetapkan menjadi tersangka oleh porles Banggai, karena dia tidak memiliki izin prinsip itu” ujarnya.
Berdaarkan catatan investigasi YTM dan Jatam Sulteng ini, PT KLS juga telah melakukan perambahan kawasan Suaka Margasatawa (SM) Bangkirian seluas kurang lebih 562,08 haektare.
Berdasrkan data Dirjen perlindungan Hutan dan Konservasi Alam BKSDA Sulawesi Tengah dengan Nomor Surat :5,930/IV.BKSDA.K-26/1/2010 tanggal 13 Oktober 2010. Setelah melakukan perambahan kawasan hutan, PT. KLS juga telah melakukan penanaman sawit di dalam SM Bangkiriang serta membangun bangunan untuk kebutuhan CPO.
Modus yang digunakan, berupa mendirikan patok-patok sawit Plasma d dalam kawasan hutan, sehingga untuk mengibuli pemerintah bahwa pemilik sawit sawit dalam kawasan hutan adalah masyarakat, padahal pohon pohon sawit itu bukan Palasma, melainkan perkebunan inti milik PT KLS.
“Jadi, kami menemukan walaupu dia memilki izin, tetapi perusahaan ini melakukan aktivitas yang melanggar Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 Tentang perkebunan maupun Undang-Undang Nomor 19 tahun 2004 tentang kehutanan,” Syahrudin.
Akibatnya, negara diduga dirugikan oleh aktivitas PT Berkat Hutan Pusaka, perusahaan patungan antara inhutani I dan PT KLS yang belakangan saham Inhutani 1 telah di beli PT. KLS. Kerugian Negara dalam kasus ini adlah, Negara telah memberikan Dana Reboisasi (DR) untuk melakukan penanaman Sengon,akasia dan jenis –jenis pohon lainya, tapi sebaliknya PT. KLS malah melakukan penanaman sawit dalam Hutan Tanaman Industri (HTI) serta tidak mengembalikan dana Reboisasi kepada pemerintah sejak dinytakan jatuh tempo pada tahun 2009.
Selain menggarap di kawasan SM bangkiriang, ekspansi sawit KLS di Kecamatan toili juga disinyalir kuat sebagai penyebaba terjadinya banjir bandangpada tanggal 15 agustus 2014 kemarin. Tutur Syahrudin, Penggundulan hutan yang terjadi secara besar-besaran untuk kepentingan perluasan sawit, hingga penanaman sawit yang berada sangat dekat dengan daerah aliran sungai merupakan Bom waktu atas terjadinya Banjir bandang.
“Selain itu, PT. KLS juga tidak memiliki dokumen AMDAL yang baik, karena menanam sawit pada kemiringan lahan yang curam. Oleh sebab itu, kami atas nama YTM dan JATAM Sulteng, mendesak pemerintah dan institusi penegak hukum di indonesia, khusunya di sulawesi tengah untuk melakukan diskriminasi penegakan hukum, guna peneyelamatan lingkungan dan Hutan yang lebih lestari” tuturnya. RIDWAN
Sumber: Koran Indigo. Edisi: Jumat, 29 Agustus 2014