PT Vale Indonesia Tingkatkan Kapasitas Produksi, Masyarakat Khawatir Kerusakan Lingkungan
PerspektifNews, Palu – PT Vale Indonesia Tbk (PT. VI) berencana meningkatkan kapasitas produksi nikel di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan dan membangun pabrik nikel di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. Hal ini terungkap dalam pengumuman studi AMDAL yang dikeluarkan oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup bersama PT. VI, yang dilansir surat kabar harian Radar Sulteng, Jum’at (7/6).
PT. Vale Indonesia Tbk adalah perusahaan pertambangan nikel dan pemegang kontrak karya berdasrakan Keputusan Presiden No. B-745/Pres/12/1995. PT. VI memiliki wilayah konsesi seluas 190.508 hektar dan telah beroperasi sejak 1968 di Sorowako, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan.
Dalam pengumuman studi AMDAL tersebut, PT. VI akan meningkatkan kapasitas produksi nikel dalam matte per tahun, dari sekitar 73 ribu ton hingga 130 ribu ton pada puncak produksinya. Untuk merealisasikannya, PT. VI akan menambah fasilitas produksi pabrik pengolahan bijih nikel di Sorowako dan membangun pabrik pengolahan nikel matte di wilayah Kecamatan Bahodopi. Sebagian wilayah kegiatan proyek PT. VI ini rencananya juga akan berada di hutan lindung di dua provinsi tersebut.
Dikatakan dalam pengumuman itu bahwa peningkatan kapasitas produksi itu bertujuan untuk mendukung Undang-Undang No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, khususnya untuk memberi nilai tambah sumber daya mineral melalui pengolahan dan pemurnian. PT. VI berargumen bahwa proyek tersebut akan meningkatkan pajak dan royalti bagi pemerintah Indonesia, meningkatkan pertumbuhan ekonomi di masa depan, meningkatkan pertumbuhan regional dan menciptakan kesempatan usaha, termasuk usaha-usaha lokal.
Ditolak Masyarakat
Namun upaya PT. VI untuk membangun pabrik pengolaha nikel matte di wilayah Kecamatan Bahodopi segera mendapatkan penolakan dari masyarakat. Pembangunan pabrik pengolahan nikel matter atau pabrik smelter tersebut dikhawatirkan akan berdampak buruk bagi masyarakat.
Koordinator Divisi Kampanye Yayasan Tanah Merdeka (YTM), Adriansah menilai rencana PT. VI untuk membangun pabrik smelter di Kecamatan Bahodopi akan mengakibatkan semakin massifnya perampasan tanah petani. Selain itu, ia juga menambahkan ruang kelola bagi nelayan akan semakin sedikit.
“Ini akan berakibat pada rendahnya produktivitas petani dan nelayan sebagai akibat dari kerusakan lingkungan, sehingga akan mematikan usaha-usaha petani dan nelayan di wilayah tersebut. Kalaupun mereka akan mempekerjakan masyarakat sekitar lingkar tambang, itu pun tidak ada jaminan kerja yang pasti bagi mereka. Paling hanya jadi buruh kontrak atau outsourcing. Artinya petani dan nelayan akan dipaksa menjadi buruh di perusahaan,” kata Adriansah, ketika ditemui PerspektifNews, Jum’at (7/6).
Menurutnya, dalam corak produksi yang kapitalistik, seperti yang dijalankan oleh PT. VI akan berdampak pada tenaga buruhnya serta kerusakan lingkungan. Nilai alat produksi seperti alat berat pabrik, menurutnya, akan lebih tinggi nilainya dibandingkan upah buruh. Hal ini, tambahnya, akan berdampak pada tidak dipedulikannya nasib para buruh yang nantinya bekerja di PT. VI.
Ia juga mengkhwatirkan kerusakan lingkungan yang akan diakibatkan oleh aktifitas pertambangan PT. VI. Menurutnya, industri pertambangan tidak pernah ramah terhadap lingkungan.
“PT. Vale mungkin dapat meminimalkan dampaknya, tetapi tidak dapat mengembalikan seperti semula kondisi alam yang telah dirusak,” ujarnya.
Senada dengan Adriansah, Manger Riset dan Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulteng, Fhay Hadi juga beranggapan pembangunan smelter akan mengakibatkan kerusakan hutan. “Limbahnya akan dibuang kemana?” katanya, ketika ditemui PerspektifNews, Sabtu (8/6).
Ia juga mengharapkan agar Kementerian Kehutanan tidak mengeluarkan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) kepada PT. Vale. Menurutya, rencana pembangunan smelter tersebut bertentangan dengan Instruksi Presiden (Inpres) No 6 Tahun 2013 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.
“Jika Kementerian Kehutanan tetap mengeluarkan ijin, maka pemerintah tidak punya komitmen menjaga kelestarian hutan,” tegasnya.
Ia juga menjelaskan bahwa PT. VI sebelumnya pernah mengusir masyarakat transmigran dari lahan konsesinya.
Menurutnya, banyaknya investasinya pertambangan di areal hutan, khususnya di Kabupaten Morowali, telah menimbulkan sekian banyak persoalan. “Terutama pada tersingkirnya ruang hidup masyarakat yang tinggal di areal hutan, pencemaran air, udara, dan mata rantai ekosistem. Industri pertambangan tidak mendatangkan kesejahteraan bagi rakyat, khususnya perusahaan milik asing,” pungkasnya.
Ia menyarankan agar perusahaan asing dinasionalisasi, sehingga dapat kesejahteraan bagi rakyat serta penerimaan negara akan bertambah.
“Seharusnya, pemerintah menasionalisasi perusahaan tambang milik asing itu, yang mayoritas pemilik saham terbesarnya adalah Vale Kanada. Vale yang memiliki bisnis logam dasar dan produsen nikel kedua terbesar di dunia ini merupakan pemegang saham mayoritas, sebesar 58.73 persen. Bukannya memberi ijin untuk membangun smelter,” kata Fhay. (Udin)
Sumber: perspektifnews.com