Restrukturisasi Pemilikan dan Penguasaan Tanah, Bukan Solusi Bagi Petani Berkelas
Palu-Ketimpangan pemilikan, penguasaan tanah dan sumber-sumber agraria berakar dari struktur masyarakat berkelas. Hal itu, mudah kita amati dalam studi-studi agraria, maupun pengamatan di lapangan. Tanah diolah bukan untuk kebutuhan subsistensi semata, tetapi produksinya dijual di pasar. Kondisi ini, tidak hanya terjadi dalam masyarakat yang kapitalistik. Namun, masyarakat yang non-kapitalis sekali pun telah lama berhubungan dengan logika pasar.
Menurut Richard Labiro, Staf Riset dan Pengorganisasian Yayasan Tanah Merdeka (YTM) penetrasi kapital telah memaksa petani mengintroduksir pertaniannya ke dalam logika akumulasi. Dia mencontohkan hasil temuannya di Desa Rompo, Kecamatan Lore Tengah, Kabupaten Poso; meski daerah itu tak bersentuhan langsung dengan kapital. Tetapi, lahan-lahan pertanian di sana telah diintensifkan untuk tanaman komoditas seperti cokelat, kopi dan palawija. Akibatnya, para petani mulai saling mengklaim tanah menjadi kepemilikan pribadi. Tidak hanya itu, para petani juga mulai mempraktekkan pengerahan tenaga kerja upahan dalam setiap proses produksi.
Relasi produksi seperti ini menurutnya membuat petani saling berkompetisi. Petani yang sukses, berusaha menguasai (memonopoli) tanah sebesar-besarnya. Sedangkan petani yang kalah bersaing, menjadi miskin dan rentan menjual tanahnya. Di Rompo menunjukan kecenderungan ini, dimana mayoritas petani hanya memiliki tanah di bawa 1 hektare. Sementara, segelintir petani kaya memiliki tanah 10-30 hektare.
Temuan Richard menemukan fakta bahwa petani miskin di Rompo memilih menjual tanahnya kepada petani kaya karena ongkos produksi yang mahal. Sementara, kebutuhan rumah tangga petani sehari-hari cukup tinggi. Apalagi, jika mereka dililit kredit kendaraan dan biaya sekolah anak.
Tidak heran, jika banyak petani lebih memilih menjadi buruh tani dari pada menggarap tanahnya sendiri. Sebab, dengan menjual tenaga kerjanya, mereka bisa memperoleh uang tunai sebesar 50 ribu hingga 100 ribu per hari (bergantung dari obyek kerja).
Selain itu, kata Richard penentuan harga komoditas oleh pengepul dan tengkulak mencekik leher para petani miskin. Sebab, ongkos produksi dan pengeluaran tak sebanding dengan harga komoditasnya. Hal itu karena para tengkulak suka memainkan harga dan melilit hutang petani miskin. Para tengkulak kadang sengaja memberi hutang kepada petani miskin agar tenaga kerjanya di kuras secara gratis. Selain itu, mereka juga menyasar tanah petani miskin dengan modus hutang.
Richard berpendapat, dinamika petani di pedesaan sudah jauh lebih kompleks. Ada petani kaya yang hidupnya seperti parasit, ada petani berkekurangan, meskipun punya tanah tapi juga menjual tenaga kerjanya demi memenuhi kebutuhannya dan ada buruh tani yang tak memiliki tanah. Baginya, masalah petani tidak hanya soal struktur pemilikan dan penguasaan tanah. Tetapi, paling penting adalah relasi produksi di antara mereka yang sudah saling menghisap.
“Saat ini pemerintah kita sedang proses restrukturisasi pemilikan dan penguasaan tanah. Padahal, problem utama petani terletak dalam relasi produksi yang saling menghisap. Jika abai dengan itu, maka kita sebenarnya tidak sedang menyelesaikan ketimpangan pemilikan, penguasaan tanah tetapi melegalkan penghisapan di antara petani sendiri. Karena, tanah-tanah yang di distribusi bisa saja jatuh ketangan petani kaya atau pengusaha lewat proses jual beli.” Kata Richard