Tanggung Jawab Sosial PT Donggi Senoro LNG, “Harusnya Dana CSR Untuk Pengembangan Pertanian”

Jakarta, Tambangnews.com.– Meski diwarnai pro dan kontra, pembangunan Kilang Donggi Senoro di kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, tetap berjalan. Menurut klaim Andy Karamoy, Direktur Umum PT Donggi Senoro LNG (DSLNG), pembangunan kilang LNG di kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, hingga pertengahan September 2012 mencapai 59%. Namun dibalik keberlangsungan proyek senilai US$ 2,8 miliar tersebut, masih tersisa sejumlah masalah. Khususnya persoalan pembebasan tanah dan tanggung jawab sosial perusahaan untuk masyarakat sekitar pertambangan.

Menurut Budi Siluet, aktivis Yayasan Tanah Merdeka (YTM), Palu, PT DSLNG sebagai operator kilang Senoro belum berkontribusi nyata bagi pembangunan masyarakat sekitar.

Ia secara khusus menyorot kontribusi PT DSLNG untuk pengembangan pertanian. “Makin sedikit masyarakat di desa sekitar yang menjadi petani. Ini dampak dari pembebasan lahan untuk proyek Donggi Senoro. Padahal bertani adalah profesi penduduk selama selama ini,  jauh sebelum proyek Donggi Senoro dimulai,” kata Budi.

Menurut Budi, sejak tidak lagi memiliki tanah, banyak petani terpaksa meninggalkan aktivitas pertanian. “Memang masalah tanah bukan masalah utama. Yang juga memberatkan, kondisi mereka adalah tidak punya modal, dan juga tidak punya teknologi,” kata Budi. Sehingga, bila ingin berkontribusi nyata bagi pengembangan masyarakat sekitar, PT DSLNG  bisa membangun sektor pertanian.

Ada beberapa hal yang menurut Budi seharusnya dilakukan PT DSLNG. Yakni, menyediakan bibit pertanian, memberikan pelatihan secara modern, serta membantu menampung dan menyalurkan hasil tanam petani.

Sebelumnya Andika, Manager Riset Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulteng, juga mengkhawatirkan nasib petani yang kehilangan tanah produksi akibat pembebasan lahan untuk areal tambang. “Bagaimana nasib mereka? Mereka butuh tanah. Apakah perusahaan pengelola Donggi Senoro akan bertanggung jawab,” tegas Andika.

Baik Budi maupun Andika sepakat, PT DSLNG punya tanggung jawab sosial untuk mengembangkan ekonomi masyarakat sekitar. Salah satunya melalui pengembangan pertanian, yang selama bertahun-tahun menjadi ladang hidup masyarakat.

Sementara itu, Nurmawati Dewi Bantilan, anggota DPD Sulteng, belum melihat kontribusi PT DSLNG untuk pengembangan perekonomian masyarakat sekitar. Ini terlihat dari kecilnya dana CSR PT DSLNG yang hanya Rp 1 miliar. “Nilai itu sangat kecil dibandingkan nilai investasi proyek yang mencapai US$ 2,8 miliar,” ujarnya saat diskusi IRESS beberapa waktu lalu. “CSR-nya tidak cukup untuk memperbaiki kerusakan lingkungan, ini benar-benar tidak sesuai yang jadi harapan. Jangankan sesuai yang bisa mensejahterakan rakyat, belum beroperasi saja sudah menyusahkan rakyat,” paparnya.

Bahkan menurut Dewi, pada bulan Juli lalu sekelompok masyarakat memberi ultimatum ke PT Donggi Senoro dan pemerintah, berkaitan dengan dampak proyek Donggi Senoro tidak sesuai dengan komitmen yang dibangun. Komitmen yang dimaksud adalah kesepahaman pada bulan Agustus tahun 2008, di mana dalam pola kepemilikan lahan sarat dengan berbagai masalah. “Masalah awal yang timbul terutama pada pembebasan lahan yang dimiliki oleh masyarakat setempat. Pola kepemilikan lahan ini menjadi potensi konflik yang sangat luar biasa, jauh berbeda dengan realita,” tegasnya.

Pembebasan Lahan Tidak Berpihak Pada Rakyat
Menurut Budi, potensi konflik soal kepemilikan lahan berakar dari persoalan pembebasan lahan yang tidak berpihak kepada rakyat setempat. “Pada saat pembebasan lahan hanya sedikit penduduk asli pedesaan yang menikmati hasilnya. Kepemilikan tanah di sana ribet. Banyak tanah di wilayah yang terkena proyek pembangunan kilang DS justru dimiliki pihak luar, bukan warga asli desa. Tapi memang tidak semua,” ujarnya.

Selain tidak berpihak kepada rakyat setempat, pola pembebasan lahan juga dinilai merugikan. Penelitian yang dilakukan Jatam Sulteng menyebutkan bahwa ganti rugi yang diberikan perusahaan hanya mengganti rugi tanah, tidak memberikan ganti rugi atas tanaman dan nilai ekonomis lain yang dirasakan masyarakat.

Ruwetnya persoalan pembebasan lahan ini bahkan mendapat perhatian Komisi I DPRD Sulawesi Tengah beberapa waktu lalu. Sri Indraningsih Lalusu, yang saat itu menjadi Ketua Komisi I, mengungkapkan tidak ada transparansi harga tanah di sana terkait PT Donggi Senoro. “Berdasarkan informasi dari camat dan masyarakat Batui, ada perbedaan harga antara masyarakat pemilik lahan yang satu dengan yang lainnya,” ujarnya.

Selain tidak transparan, memang terdapat varitas harga untuk pembebasan lahan. Sebelumnya PT DSLNG membayar rp 10 ribu dan Rp 9 ribu per meter bagi lahan yang berada pada jarak 101 meter dari jalan utama. Tetapi anehnya, PT DS LNG membayar sebesar Rp150 ribu permeter pada beberapa pemilik lahan yang tetap mempertahankan tanahnya.  Akibatnya, masyarakat pemilik lahan yang dibayarkan hanya Rp10 ribu dan Rp9 ribu permeter melakukan aksi menuntut harga pembayaran yang sama.

Terakhir, mengemuka kasus pembebasan lahan yang melibatkan salah satu pejabat di Mabes Polri. Pejabat yang juga mantan Kapolres Banggai itu sempat bermasalah dengan PT DSLNG terkait pembebasan lahan miliknya, di Desa Uso, Kecamatan Batui, Kabupaten Banggai.  Salah satu masalahnya antara lain persoalan harga tanah. Sedangkan PT DSLNG yang memanfaatkan tangan pemerintah Kabupaten Banggai, sudah menetapkan harga tanah sebesar Rp35 ribu per meter. Harga tanah tersebut merupakan harga mati yang tidak bisa dinaikan lagi dengan alasan apapun. (Iyet)

Sumber : http://www.tambangnews.com/