Tiga “Teori” Kekerasan Poso
Oleh Arianto Sangaji
Dari sisi demografi, Poso mewakili contoh masyarakat plural. Sebelum konflik 1998, terdapat penganut agama Islam dan Kristen dalam jumlah berimbang. Saat itu, ada kecamatan-kecamatan yang boleh disebut “Kecamatan Islam” dan “Kecamatan Kristen”, sesuai dengan mayoritas penghuninya. Segregasi itu juga bisa dilihat secara geografis, “kecamatan Islam” ada di daerah pesisir dan “kecamatan Kristen” ada di dataran tinggi. Sumber : Suara Pembaruan DailyDari segi suku, Poso juga beragam. Ada suku asli setempat, seperti To Pamona, To Mori, To Bungku, dan To Ampana. Ada pendatang Bugis, Makassar, Toraja, Minahasa, Gorontalo, dan transmigran Jawa, Bali, Lombok, dan Flores.Jadi, konfigurasinya menggambarkan cross cutting yang menarik. Terdapat penduduk asli yang Muslim dan tinggal di pesisir, juga penduduk asli, Kristen, yang tinggal di dataran tinggi. Di samping pendatang Muslim yang tinggal di pesisir, dan pendatang Kristen yang tinggal di dataran tinggi.
Dua kecamatan, yakni Poso Kota dan Poso Pesisir (sekarang sudah dimekarkan menjadi Poso Pesisir, Poso Pesisir Utara, dan Poso Pesisir Selatan, Red) menjadi titik pertemuan. Di dua kecamatan itu, sebelum kekerasan, Desember 1998, komposisi penduduk atas dasar agama (Islam dan Kristen) berimbang. Juga, penduduk asli dan pendatang.
Kendati begitu, segregasi penduduk sangat kentara di kedua kecamatan. Di Poso Kota, misalnya, Kelurahan Lawanga, Bonesompe, dan Kayamanya dihuni mayoritas Islam. Sebaliknya, Kelurahan Lombugia dan Kasintuwu dihuni mayoritas Kristen. Di Poso Pesisir, Kelurahan Kasiguncu dan Desa Pinedapa identik dengan Kristen, dan Kelurahan Mapane dan Desa Tokorondo identik dengan Islam.
Tidak bisa dihindari, konfigurasi semacam itu membuka ruang lebar konflik di tengah masyarakat. Tetapi konflik itu jika dikelola dengan baik, pasti melahirkan masyarakat yang toleran dan produktif. Sebaliknya, jika tidak terkelola, kekerasan sangat mudah dihasilkan.
Kekerasan Poso memang sarat dengan argumentasi etno-religius. Tetapi, lebih karena manipulasi terhadap identitas itu. Perlagaan politik, korupsi, dan problem aparat keamanan adalah “teori” yang bisa menjelaskan kekerasan di sana.
Perlagaan Politik
Sejak awal, kekerasan Poso sarat nuansa politik lokalnya. Ditandai pertarungan di antara politisi untuk meraih kekuasaan politik dan birokrasi, dengan memanipulasi identitas agama dan suku. Pertarungan terasa sekali dalam proses pergantian bupati Poso, akhir 1998 hingga 1999. Begitu juga dalam perebutan jabatan birokrasi pemerintahan, seperti sekretaris daerah.
Perlagaan itu menjadi tidak beradab, karena menggunakan kekerasan sebagai metode. Langsung atau tidak, sejumlah politisi memobilisasi pendukung untuk melakukan kekerasan, dengan mengeksploitasi identitas agama dan suku.
Manipulasi berlangsung efektif karena dua momentum yang berhubungan. Pertama, kejatuhan Soeharto. Elite politik di daerah kehilangan pijakan, setelah tiga pilar Orde Baru – Golkar, militer, dan birokrasi – tidak bisa lagi diandalkan dalam suasana politik liberal. Mereka mencari basis dukungan baru dengan bersandar pada identitas agama dan suku.
Kedua, bangkitnya kembali politik aliran. Liberalisasi politik pasca-Soeharto ditandai kehadiran kembali politik aliran berbasis agama. Di Poso, partai politik yang menawarkan simbol-simbol agama menjadi daya tarik baru. Partai Krisna, PDKB, dan PDS di pihak Kristen, dan PPP, PKS, PBR di Islam, mengundang daya tarik, seperti pengalaman Parkindo dan PSII pada tahun 1950-an di daerah itu.
Seperti perlagaan politik, korupsi adalah salah satu pemicu paling awal kekerasan Poso. Pengungkapan korupsi dana Kredit Usaha Tani (KUT) telah mendorong orang-orang yang diduga terlibat untuk menyulu kekerasan. Dalam kenyataannya, mereka yang terindikasi sebagai koruptor KUT, sekaligus juga adalah “provokator” kekerasan Poso paling awal.
Kekerasan dan korupsi Poso seperti ibarat dua sisi dari satu mata uang. Kekerasan yang berlarut diikuti dengan mengalirnya seratusan miliar rupiah dana kemanusiaan untuk pemulihan. Dana itu dipakai untuk biaya pemulangan pengungsi, rehabilitasi fisik, dan jaminan hidup (jadup) dan bekal hidup (bedup) warga.
Dalam praktiknya, dana-dana itu dikorupsi pengelola. Modusnya beragam, mulai dari mark up jumlah keluarga pengungsi, pemotongan, pembayaran fiktif, dan penyogokan kepada aparat penegak hukum dan aparat keamanan.
Selama ini praktik korupsi dana kemanusiaan itu berlangsung marak karena tiga hal. Pertama, memanfaatkan psikologi publik yang lebih menaruh perhatian kepada kasus-kasus kekerasan. Kekerasan yang terus berulang membuat pengelola proyek juga bebas menghindar dari kontrol hukum.
Kedua, korupsi dana kemanusiaan berbentuk jejaring (cabal). Indikasinya, bekas Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial Poso, dengan dalih perintah atasannya, menyerahkan uang ratusan juta rupiah kepada kepala kejaksaan setempat, Kapolres, Wakapolres, dan Koordinator BIN Wilayah Sulawesi Tengah. Uang itu dana jadup/bedup warga Poso. Investigasi Yayasan Tanah Merdeka juga menunjukkan terjadinyagratifikasi dari Kepala Dinas Kesejahteraan Provinsi Sulawesi Tengah kepada Kejati Sulawesi Tengah dan Kapolres Poso.
Ketiga, kekerasan terhadap warga atau aktivis yang mempersoalkan korupsi dana kemanusiaan. Pemenggalan kepala Kepala Desa Pinedapa, 4 November 2004, merupakan bentuk teror kepada kepala desa yang tidak bersedia “bekerja sama” dengan koruptor.
Pengeboman kantor LPMS Poso dan PRKP Poso, 28 April 2005, adalah contoh lain, karena kedua LSM itu sangat aktif mempersoalkan korupsi dana kemanusiaan Poso. BAP polisi terhadap salah seorang yang diduga terlibat dalam teror itu, secara terus terang mengakui pengeboman itu dirancang di sebuah hotel di Kota Poso.
Perselingkuhan koruptor dan pelaku kekerasan di Poso bukan bersifat ideologis, tetapi lebih pragmatis. Bagi koruptor, agar praktik korupsinya dapat leluasa dan tidak dapat disentuh. Bagi pelaku kekerasan, kepentingannya adalah ekonomi. Karena itu, tanpa menyentuh koruptor kakap dana kemanusiaan, kekerasan di sana berpotensi berulang terjadi.
Aparat Keamanan
Ada anggapan, kekerasan yang bersifat regional terbatas, seperti di Poso, sebenarnya merupakan bagian dari desain untuk remiliterisasi. Pemekaran dan pengaktifan kembali komando dan operasi teritorial, pembangunan pasukan-pasukan tempur organik baru, dan pembentukan detasemen antiteror TNI adalah pintu masuk remiliterisasi.
Kekerasan yang terus berulang di satu sisi, merupakan contoh kegagalan pemerintahan sipil dan kepolisian menciptakan ketertiban. Di sisi lain, seolah merupakan undangan kepada militer untuk masuk kembali dalam urusan-urusan non-perang.
Terlepas dari itu, kekerasan Poso mesti dihubungkan dengan kegagalan aparat keamanan. Wujudnya, kegagalan menciptakan ketertiban dan keamanan. Padahal, berbagai operasi pemulihan keamanan telah digelar, seperti Operasi Cinta Damai, Operasi Sadar Maleo, Operasi Sintuwu Maroso (sejak Januari 2002 – Desember 2005), dan Operasi Mutiara Manjili. Ribuan pasukan pernah dikerahkan ke Poso untuk operasi tersebut. Tetapi, kekerasan terus saja terjadi.
Kegagalan itu berpangkal pada tiga hal. Pertama, problem institusional, seperti koordinasi atau bahkan rivalitas di antara aparat keamanan sendiri. Pernyataan yang bertentangan di antara mereka, misalnya, tentang ada tidaknya Al-Qaeda di Poso merupakan salah satu contoh. Contoh terbaru, pernyataan yang berbeda antara Kapolres Poso dengan Pangdam Wirabhuana tentang penangkapan pelaku kasus mutilasi (Suara Pembaruan, 16/11/2005).
Problem institusional itu harus diakui sebagai akibat dari belum tuntasnya reformasi sektor keamanan (security sector reform). Misalnya, berkenaan dengan regulasi tugas perbantuan TNI kepada kepolisian. Kendati telah diatur secara umum ketentuan tentang perbantuan itu, tetapi masih penting dielaborasi secara lebih tajam, seperti ruang lingkup perbantuan, bujet, komando, dan soal administratif lainnya.
Kedua, problem personal. Sudah menjadi cerita umum, langsung atau tidak langsung, aparat keamanan kerap menjadi bagian dari tindak kekerasan. Secara langsung, misalnya, terlibat dalam penculikan dan pembunuhan terhadap lima warga Desa Toyado, 1 Desember 2001. Yang tidak langsung, misalnya, keterlibatan dalam kasus trafficking senjata api dan amunisi.
Ketiga, soal yang bersifat abu-abu. Dalam kasus penyebaran amunisi, aparat keamanan berhasil menyita ribuan atau puluhan ribu amunisi dari tangan warga sipil. Disebut abu-abu, karena umumnya, amunisi itu buatan PT Pindad, entah melalui jalur resmi atau gelap, jatuh ke tangan penduduk sipil.
Tetapi, sejauh ini, tidak pernah ada investigasi untuk membongkar jejaring yang memasok amunisi itu. Sehingga sukar dijelaskan, apakah merupakan tindakan insubordinasi oknum, atau sebuah perintah resmi melalui operasi intelijen tertutup.
Untuk itu, koreksi terhadap aparat keamanan mutlak adanya. Di antaranya, membenahi secara institusional, maupun memberi tindakan hukum tegas kepada mereka yang menarik keuntungan dari kekerasan itu. Tanpa itu, kekerasan berpotensi tetap terjadi.
Status Darurat
Presiden Republik Indonesia akhirnya mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 14/2005 tentang Langkah-langkah Komprehensif Penanganan Masalah Poso. Intinya, ada tiga hal yang akan dilakukan.
Pertama, percepatan penanganan masalah Poso melalui langkah-langkah komprehensif, terpadu dan terkoordinasi. Kedua, menindak secara tegas setiap kasus kriminal, korupsi, dan teror, serta mengungkap jaringannya. Ketiga, penanganan masalah Poso dengan tetap memperhatikan Deklarasi Malino 20 Desember 2001. Inpres itu menugasi 12 belas institusi setingkat menteri untuk mengurusi ihwal Poso.
Seolah meremehkan Inpres tersebut, kekerasan baru muncul lagi. Tiga siswi sekolah lanjutan atas tewas dan satu luka serius dalam sebuah serangan, 29 Oktober 2005. Kemudian, petrus (penembak misterius) menembak dua gadis remaja, 8 Oktober 2005. Tidak cukup, seorang dosen Universitas Tadulako ditembak bersama istrinya, 19 Oktober 20o5, di Palu.
Bila Inpres itu gagal mengakhiri kekerasan di Poso, tidak tertutup kemungkinan pemerintah akan memberlakukan status darurat. Isyarat itu sudah disampaikan oleh salah seorang paling berpengaruh di Jakarta, ketika menelepon seorang tokoh agama di Poso, setelah peristiwa pembantaian tiga siswi.
Pengkondisian juga sudah dilakukan, ketika Kapolri menyatakan ada kelompok terorganisasi di balik kekerasan. Atau, sumber di kepolisian yang menyatakan ada Tim Bunga di balik kekerasan Poso. Kalau begitu, sangat jelas, siapa pemilik agenda kekerasan Poso. *
Penulis adalah Direktur Yayasan Tanah Merdeka, Palu.