YTM: Input Pertanian Menjadi Satu Kendala Petani Miskin
Palu-Staf Riset dan Pengorganisasian Yayasan Tanah Merdeka (YTM) Richard Labiro menyatakan salah satu penyebab gagalnya produksi petani miskin di pedesaan adalah input pertanian yang masih terbelakang.
“Petani-petani miskin di pedesaan tak dapat berproduksi baik, karena mayoritas masih menggunakan alat pertanian sederhana selain ketiadaan modal.” Kata Richard
Richard menyebut di Desa Rompo, Kecamatan Lore Tengah (behoa), Kabupaten Poso terdapat petani-petani miskin yang hanya menggunakan alat sederhana untuk bertani. Padahal, komoditas yang mereka tanam membutuhkan input pertanian modern. Misalnya tanaman kakao, para petani merawatnya dengan peralatan seadanya. Sementara, tanaman ini memerlukan pemeliharaan yang intensif.
Menurut Richard, selain input pertanian yang masih sederhana, pengetahuan mereka untuk memaksimalkan lahan produksinya juga masih sangat minim. Meski lahan mereka sudah berisi tanaman seperti kakao, kopi dan palawija namun hasil produksinya sedikit. Bahkan menurutnya para petani miskin banyak yang berhutang kepada tengkulak karena gagal produksi.
Richard menyebut banyak petani miskin di lembah behoa terpaksa memilih masuk hutan mencari damar dan rotan, meski resiko kerjanya sangat tinggi.
Ia menuturkan, para petani miskin ini rela memikul getah damar atau menarik rotan melewati bukit-bukit hutan yang berjarak 5-10 kilo meter. Tak tanggung-tanggung biasanya mereka memikul getah damar hingga 45 kilo gram.
“Para petani ini tidak peduli dengan keselamatan dirinya, meski sudah banyak yang sakit karena beban kerja yang berat.” Ujar Richard
Hal itu menurut Richard karena petani miskin tak punya banyak pilihan.
“Masuk hutan adalah satu-satunya cara untuk menunjang kebutuhan rumah tangga mereka atau tidak, para petani miskin menjual tenaga kerjanya kepada petani kaya.” Tuturnya
Selain memilih masuk hutan, para petani miskin yang terdesak mendapatkan uang tunai terpaksa menjual tanahnya. Hal itu, telah berlangsung lama di Rompo, bahkan ada sekitar 300-an petani sudah tak memiliki tanah karena proses jual beli.
Jika kondisi ini dibiarkan terus-menerus, maka tidak menutup kemungkinan petani miskin di Rompo bahkan di wilayah-wilayah lain akan terus kehilangan tanah. Sebab, beberapa petani justru berhasil mengintensifkan lahannya dan mencari lahan-lahan baru. Misalnya, saat ini ada satu orang petani memiliki kebun mencapai 30 hektare.
Kondisi ini sangat memprihatinkan,sehingga menurut Richard, perlu ada perhatian pemerintah terutama dalam memajukan pengetahuan dan input pertanian modern. Jika tidak, kita akan terus menyaksikan petani di pedesaan mengalami diferensiasi. Petani yang berhasil mengintensifkan lahannya akan memakan petani miskin.
“Dengan bantuan teknologi dan pengetahuan bertani, para petani miskin dapat memaksimalkan lahanya, tanpa harus meluaskan tanahnya. Ini salah satu cara mencegah persaingan di antara petani.” Tutup Richard