BeritaHutan & Lingkungan

YTM Tuding Perhutanan Sosial Hanya Agenda Pengalihan Krisis Ekologi Dunia

PALU, beritapalu.NET | Yayasan Tanah Merdeka (YTM) Palu mengungkapkan program Perhutanan Sosial (PS) merupakan agenda di balik eksploitasi alam besar-besaran di negeri-negeri industri maju.

“Negara-negara maju yang tidak ingin menanggung risiko kerusakan alam, kemudian menunjuk negeri-negeri berkembang yang memiliki hutan tropis seperti Indonesia untuk menjaga dan memperbaiki tata kelola hutan dan lahannya,” kata Manager Kampanye dan Jaringan YTM Adriansa Manu, Sabtu (21/10/2017).

Menurut Adriansa, mekanisme ini telah lama dibuat sejak pertemuan Protocol Kyoto yang kemudian diratifikasi kembali dalam Perjanjian Paris (Paris Agreement) pada 2015. Hasilnya negara-negara maju yang memproduksi energi fosil dalam jumlah masif tidak ingin bertanggung jawab atas krisis ekologi global, mereka lantas menunjuk negeri-negeri berkembang yang memiliki hutan tropis terbesar dunia untuk menanggulanginya.

“Negara-negara maju, telah berhasil mengalihkan krisis ekologi dunia ini dengan menunjuk negeri seperti Indonesia agar menanggung kerusakan yang disebabkan oleh industri mereka (negara maju). Ini tentu tidak adil, akar masalahnya ada di sana (negeri industri maju) lalu kita (Indonesia) diminta untuk menanggungnya,” sebut Adriansa.

Dalam pertemuan Kyoto itu, negeri-negeri industri maju hanya bertanggung jawab untuk memberikan insentif berupa dana kepada negara-negara berkembang untuk menjaga hutannya. Celakanya, Indonesia justru menganggap pemberian dana tersebut adalah peluang yang tak boleh ditolak.

Pemerintah Indonesia lantas berkomitmen meneruskan program REDD (Reducing Emissions from Deforestation anda Forest Degradation) dan sejumlah program lainnya yang berkaitan dengan penanganan perubahan iklim.

Tidak lama setelah pertemuan itu, salah satu negara penghasil minyak terbesar dunia Norwegia memberikan sumbangan dana sebesar USD 15 juta untuk tujuan perbaikan gambut. Bahkan Norwegia berencana akan kembali melipatgandakan bantuannya sebesar USD 258 juta untuk tujuan perbaikan pengurangan emisi karbon dioksida di Indonesia.

Sementara itu, 12 Juni lalu, Menteri Luar Negeri (Menlu) Indonesia  Retno Marsudi menandatangani kerja sama di Oslo, Norwegia. Salah satu materi kerja sama yang dimaksud adalah bidang perubahan iklim/kehutanan. Indonesia pada fase-2 kerja sama REDD+ memperoleh dana hibah sebesar USD 1 millyar. Tidak hanya itu, Indonesia juga memperoleh dana hibah dari negeri-negeri maju seperti Jepang, Inggris dan Amerika Serikat.

Lanjut Adriansa, akibat dari lemahnya pemerintah Indonesia di hadapan negeri-negeri maju ini membuat petani-petani kecil yang hidup sejak puluhan bahkan ratusan tahun di dalam kawasan hutan dikorbankan. Para petani kemudian dikontrol melalui sejumlah program kehutanan bahkan mereka juga  terancam diusir dari kampungnya.

Sebagai tindak lanjut dari penangan emisi karbon ini, pemerintah Indonesia membuat sejumlah instrumen. Salah satu di antaranya adalah  Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Nomor P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial  yang secara eksplisit membatasi petani mengelola (berkebun) di dalam kawasan hutan.

“Para petani kecil di dalam dan sekitar kawasan hutan seakan diberi akses untuk memanfaatkan hasil hutan nonkayu atau kayu dan menanam komoditas tertentu. Tetapi, harus diingat mereka tidak dapat melakukan aktivitas yang berimplikasi mengubah fungsi kawasan hutan. Mereka juga tidak sembarang memanfaatkan hutan, harus ada izin dari KLHK jika ingin mengaksesnya” jelasnya.

Selain itu, salah satu instrumen penting keseriusan pemerintah menata kembali pengelolaan hutan dan lahan adalah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 88 tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan.

“Secara kasar, peraturan ini mengharuskan perlindungan terhadap kawasan hutan, jika boleh petani-petani kecil yang selama ini tinggal di dalam kawasan hutan dikeluarkan/dipindahkan. Sementara, pilihan-pilihan lain yang diberikan negara kepada petani kecil amat berat, mereka hanya diberikan ruang untuk mengajukan skema Perhutanan Sosial atau justru ressetlement,” tutup Adriansa. (afd/*)

Sumber: beritapalu.net

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *