Petani di Morowali Utara Cari Keadilan dari MA hingga DPRD Sulteng

Hampir 100 persen warga Desa Lee, Kecamatan Mori Atas, Kabupaten Morowali Utara (Morut), Sulawesi Tengah (Sulteng), mencari nafkah sebagai petani. Bahkan, Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) yang tinggal di desa itu, juga menggarap sawah. Sehingga sawah bagi warga Desa Lee adalah penghidupan.

Lalu tiba-tiba, warga dikejutkan dengan terbitnya sertifikat hak guna usaha (HGU) untuk perusahaan sawit dengan mengambil sumber-sumber penting di desa. Padahal prosesnya, tidak pernah melibatkan masyarakat.

Hal itu memicu warga Desa Lee mencari keadilan hingga ke Mahkamah Agung (MA). Majelis Hakim MA mengabulkan gugatan Petani Desa Lee, Kecamatan Mori Atas, Kabupaten Morowali Utara terhadap Badan Pertanahan Nasional (BPN) Morut dan PT Sinergi Perkebunan Nusantara.

Putusan itu berbunyi, bahwa MA menyatakan batal atau tidak sah Surat Keputusan yang diterbitkan Kantor BPN Kabupaten Morowali Utara yaitu Sertifikat HGU kepada PT Sinergi Perkebunan Nusantara dengan Nomor 00026, tanggal 12 Juni 2009, Surat Ukur Nomor 00035/Morowali Utara/2016 yang terletak di Desa Lee, Kasingoli dan Gontara. Hak Guna Usaha tersebut seluas 1.895 hektare.

Kepala BPN Kabupaten Morowali Utara Adolf Puahadi, saat dikonfirmasi mengaku walaupun sudah final di MA, tetapi kasus tersebut sudah masuk dalam ranah hukum. Sehingga ia meminta agar proses hukum diikuti saja.

“Sehingga untuk melaksanakan putusan itu kan perlu proses sesuai prosedur dalam Permen ATR/BPN Nomor 21 Tahun 2020,” kata Adolf, Kamis malam (25/3).

Hal sama disampaikan oleh pihak PT SPN. Melalui Kabag Operasional PT SPN, Sasongko menyampaikan bahwa putusan MA tersebut belum final. PT SPN sedang melakukan upaya hukum berupa Peninjauan Kembali (PK) untuk menunjukkan novum (bukti baru) ke pengadilan.

“Yang kemarin belum final. Walaupun sudah ada putusan MA. Tapi supaya lebih tajam penjelasannya, kami minta persetujuan direktur karena kami punya kode etik untuk menyampaikan ke media massa,” katanya, Kamis malam (25/3).

Ia meminta kepada media ini, bahwa pada prinsipnya ia belum bisa memberikan komentar lebih. Selanjutnya ia meminta agar media ini memberikan pertanyaan tertulis untuk kemudian diteruskan ke Direktur PT SPN.

“Karena saya ini cuma staf. Masih ada Direktur kami dia juga hadir saat sidang,”pinta Sasongko.

Kepala Desa Lee, Almida Batulafa, menyampaikan pihaknya meminta putusan MA agar dapat dilaksanakan. Menurutnya segala apa yang sudah menjadi putusan hukum agar ditindaklanjuti dan tanah warga Desa Lee dapat diserahkan ke rakyat. Putusan MA soal sengketa lahan warga Desa Lee, sudah turun sejak Oktober 2020, namun sampai sekarang belum ada tindaklanjutnya.

“Masa dari jalan, kuburan, sumber air bersih sampai sawah warga masuk ke dalam HGU? Mau makan apa?” ujar Kepala Desa Lee, Almida Batupala, Kamis (25/3).

Sebelumnya, puluhan massa yang mengatasnamakan diri Aliansi Petani Desa Lee, Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah, menggelar unjuk rasa di depan Kantor PTUN Palu, Rabu (24/3).

Massa aksi sebagian dari warga Desa Lee, Morowali Utara itu menuntut pencabutan izin PT SPN yang beroperasi di wilayah setempat.

“Petani Desa Lee sudah menang. Laksanakan putusan Mahkamah Agung 174 K/TUN/2020, dan tolak PK PT SPN pada tanggal 20 Mei 2020. Putusan ini sudah berkekuatan hukum tetap,” kata Koordinator Lapangan aksi Wahyudi.

Maka dengan itu, BPN Morowali Utara diwajibkan untuk mencabut Sertifikat HGU tersebut dari ketiga desa itu. Sebab, selama ini keberadaan HGU itu telah membuat petani kehilangan tanah.

Perusahaan sawit PT SPN, menurutnya, telah menggusur tanah petani di Desa Lee. Maka tidak ada tawar-menawar lagi selain melaksanakan putusan MA.

Aliansi juga mendesak agar hakim di PTUN Palu tidak mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali PT SPN dengan bukti baru yang mereka punya. Sebab pada kenyataannya, petani Desa Lee sudah memiliki hak atas tanah mereka sesuai keputusan pengadilan.

Aliansi tegaskan, bahwa perjuangan panjang Petani Desa Lee dalam mempertahankan tanahnya dari ancaman penggusuran, perampasan, dan intimidasi dari PT SPN merupakan wujud nyata dari ketidakadilan Hukum dan Agraria bagi petani.

Selain itu, Richard selaku Biro Koordinator Aliansi Petani Desa Lee mengatakan, sampai saat ini PT SPN masih melakukan aktivitas di Desa Lee.

“PT SPN merampas tanah rakyat, dan ini memicu gesekan di bawah bahkan mereka berupaya mencari bukti baru untuk memutuskan putusan hukum yang sudah berkekuatan hukum tetap,” katanya.

Petani Desa Lee menurutnya, telah menggarap lahan tanahnya sudah sejak dari nenek moyang mereka.

“Kami mendesak DPRD Sulteng untuk membentuk Pansus soal agraria di Sulteng. PT SPN diduga sebagai sumber konflik agraria di Sulteng. Kami sampaikan kepada hakim PTUN agar mempertimbangkan dengan baik PK yang dilakukan PT SPN. Oleh karena itu kami berharap pada hukum untuk bertindak arif. Yang kita perjuangkan ini adalah petani yang dirampas haknya oleh perusahaan,” ujarnya.

Sementara itu perwakilan warga menyampaikan bahwa kedatangan mereka ke Palu untuk menyuarakan haknya.

“Bahwa hak kami sebagai masyarakat yang memiliki sawah sudah dikuasai oleh PT SPN. Perlu diketahui bahwa tanah itu sudah kami kuasai sejak dari nenek-nenek moyang kami dan orang tua kami yang sudah seratusan tahun lalu mengolah lahan itu. Sehingga kami terus berjuang agar kami punya hak untuk ditindaklanjuti, membela kami sebagai masyarakat,” ujarnya.

Kemudian massa aksi melanjutkan orasi di Kantor BPK Perwakilan Provinsi Sulteng. Di sana mereka menyuarakan pencabutan HGU PT SPN. Dan meminta putusan MA dilaksanakan serta meminta BPK untuk melakukan audit kepada aset dan keuangan PT SPN di mana PT SPN menguasai lahan tanpa sosialisasi kepada masyarakat. PT SPN melanggar ketentuan dan menyerobot lahan masyarakat.

Selain ke Kantor PTUN dan BPK, massa aksi juga mendatangi kantor DPRD Sulteng dan Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah, di Jalan Samratulangi, Kota Palu.

Sumber: https://kumparan.com/paluposo/petani-di-morowali-utara-cari-keadilan-dari-ma-hingga-dprd-sulteng-1vQfaQDonJ7/full

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.