Perkebunan Sawit

Kondisi Kelas Pekerja Perkebunan Kelapa Sawit PT SPN di Morowali Utara

PT. Perkebunan Nusantara XIV (PTPN), kini berganti menjadi PT. Sinergi Perkebunan Nusantara (PT. SPN). Gambar ini diambil dari mongabay.co.id

Oleh Moh. Amirudin Alala[1]

Wawan (30) adalah salah satu pekerja perkebunan kelapa sawit PT. Sinergi Perkebunan Nusantara (SPN) yang terletak di Desa Lembontonara, Kecamatan Mori Utara, Kabupaten Morowali Utara. Bapak satu anak inimenjadi pegawai tetap di SPN dengan kontrak golongan 1Asejak tahun 2014, setelah beberapa tahun menjadi pekerja tidak tetap.

Bekerja di perkebunan sawit sebenarnya sudah dilakukanWawansejak lama.Sebelum di SPN, iapernah bekerja di perkebunan milik ASTRA Grup,namun hanya bekerja sebagai buruh harian lepas.Ia tidak bertahan lama, karena upahnya sangat rendah untuk membiayai kebutuhan hariannya.

PT Sinergi Perkebunan Nusantara (SPN) merupakan anak perusahaan daripatungan antar perusahaan BUMN. Patungan tersebut berbentuk penyertaan saham PT PN VI di perkebunan kelapa sawit (PKS) Tomata, Kecamatan Mori Atas, sebesar 71,28%, yang sebelumnya dikuasai sepenuhnyaolehPT PN XIV. Dari penyertaan saham ini,lahirlah PT SPN, terhitung sejak penandatanganan Perjanjian Pendirian Perusahaan Patungan dan Akta Pendirian di Jakarta pada 14 Desember 2011.

SPN bergerak di bidang agro bisnis dan agro industri. Kegiatan utamanya adalah pengusahaan tanaman meliputi pembukaan dan pengolahan lahan sawit. Selain itu, SPN juga melakukan kegiatan pembibitan, penanaman, pemeliharaan dan pemungutan hasil tanaman. Mereka juga membangun pabrik crude palm oil (CPO) dan pengembangan usaha di seluruh aspek yang berkaitan dengan perkebunan kelapa sawit.

Meskipun BUMN, PT SPN berekspansi ke mana-mana untuk berkompetisi meraup keuntungan sebesar-besarnya. Mereka memproduksi ruang baru sebagai syarat akumulasi dengan merampas tanah petani subsisten di pedesaan.

Melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN), PT SPN di PKS Tomata menguasai lahan seluas 15.584 Ha, termasuk yang lokasi di Lembontonara. Lahan seluas itu diperoleh dari sembilan izin HGU yang terbit pada Januari 2009. Wilayah ini terletak di Kecamatan Mori Atas, Kabupaten Morowali Utara, Provinsi Sulawesi Tengah.[2]

Tetapi, dari Sembilan HGU yang dikantongi, beberapa diantaranya bermasalah. Pada 12 Maret 2009, Bupati Morowali Utara mengeluarkan surat rekomendasi kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk meninjau kembali beberapa HGU PT SPN. Adaindikasi tumpang tindih dengan izin lokasi empatperusahaan lain. Diantaranya PT Rimbuan Alam Semesta, PT Nusantara Griya Lestari, PT Timur Jaya Indomakmur dan PT Bahan Karya Semesta.

Selain masalah tumpang tindih dengan konsesi perusahaan lain, beberapa HGU PT SPN juga tumpang tindih dengan pemukiman dan lahan petani di sepuluh desa di Mori Atas. Pada akhir tahun 2014, salah satu dari sembilan HGU tersebut, yakni HGU Nomor20-HGU-BPN RI-2009 (27.01.07) seluas 1.895 hektar, diketahui tumpang tindih dengan wilayah tiga desa, di antaranya Lee, Kasinggoli dan Gontara. Padahal, menurut keterangan petani di tiga desa tersebut, sebelumnya tidak pernah dilakukan sosialisasi, tetapi tiba-tiba sudah keluar izin HGU.

***

Menjadi pekerja perkebunan kelapa sawit, terutama dengan status pekerja tetap, mirip seperti menjadi pegawai negri sipil. Para pekerja harus rutin bekerja setiap hari. Sejak matahari mulai menyapa, usai sarapan, Wawan selalu bergegas memacu sepeda motornya menuju afdeling 5.1—nama salah satu lokasi perkebunan kepala sawit PT SPN. Dia tidak sendiri bekerja di lokasi tersebut. Saban hari—selain Minggu dan hari libur nasional—11 pekerja lainnya juga bekerja bersamanya di lokasi tersebut. Umumnya, para pekerja tetap di PT SPN hanya bekerja memanen dan memelihara sawit. Perkerjaan diarahkan oleh mandor yang bertugas di lokasi.

Para pekerja di PT SPN dibagi perwilayah (afdeling). Setiap afdeling,ada beberapa orang buruh yang bertanggung jawab, baik untuk pembersihan maupun memanen. Pembagian tersebut ditentukan oleh luas lokasi. Kalau lokasi afdeling relatif luas, maka semakin banyak pekerja yang ditempatkan. Selain luas, tingkat produktivitas tanaman sawit juga menjadi salah satu faktornya. Di beberapa titik di mana perkebunan relatif subur, implikasinya adalah semakin intensnya perawatan sehingga membutuhkan lebih banyak tenaga kerja.

Saat waktu bekerja, setiap afdeling dijaga 4 orang mandor. Dua mandor bertugas mengawasi pekerja pada proses panen dan dua lainnya bertugas mengawasi pemeliharaan. Mandor tersebut pada umumnya diambil dari orang-orang desa sekitar perkebunan yang cukup disegani oleh para buruh.

Kamis, 1 September 2016, saya berkesempatan ikut bersama Wawan ke lokasi kerjanya. Pagi itu sedikit berbeda daribiasanya, ia terlambat berangkat. Kami terlalu lama menghabiskan pagi dengan menikmati kopi dan berkenalan. Setelah sarapan, dengan sepeda motor jantannya,kami menuju ke lokasi. Di tengah jalan, kami bertemu mandor perusahaan. Wawan memperlambat laju kendaraannya, menepi, lalu berhenti. Mandor pun menghampiri kami.

“Wan, kamu kasih bersih pelepah yang pinggir jalan utama ya. Bikin rapi, soalnya dalam waktu dekat, mau ada tamu datang,” sapa mandor ke Wawan.

“Oh iya Pak, berapa pohon dari jalan yang mau dibersihkan Pak?” Tanya Wawan kembali.

“Tidak usah jauh-jauh, 5 pohon saja sudah boleh, dengan pelepah kering sekaligus ya, supaya kelihatan hijau,” kata simandorlagi

Tadinya kami berfikir akan memanen buah sawit. Selama ngopi, saya telah sepakat membantu mengangkut buah sawit yang sudah dipanennya dari perkebunan, ke pinggir jalan dengan menggunakan lori agar mudah diakses truck yang akan mengangkut. Rencana mendadak berubah sesuai arahan mandor. Kami lantas menuju ke tempat Wawan menyimpan alat gereknya. Di sana, kami hanya mengambil pengerek—alat pemotong pelepah dan pemanen sawit—lalu ke lokasi pinggir jalan sesuai arahan mandor. Menurut Wawan, kalau ada tamu, apalagi tamu penting seperti petinggi perusahaan yang datang, biasanya perkebunan memang dibersihkan, terutama di pinggir jalan yang akan dilalui tamu. Hal ini dilakukan supaya perkebunan terlihat elok dan terawat.

Wawan memacu kendaraannya masuk ke lokasi perkebunan, melalui jalan-jalan setapak. Di tengah perkebunan sawit, kami berhenti. Ia turun dari sepeda motornya menuju ke tumpukan pelepah, lalu menarik pengerek dari situ. Wawan tidak pernah membawa alat tersebut pulang, karena cukup berat dan panjang, rumit untuk dibawa dalam perjalanan yang cukup jauh, apalagi dengan seorang diri. Kami pun melanjutkan perjalanan. Saya memikul alat tersebut dengan membonceng motor Wawan.

Tidak semua sawit PT SPN terawat dengan baik. Di wilayah yang letaknya di dalam, agak jauh dari jalan utama, lahannya terlihat lebih berumput dan banyak pelepah yang rusak tidak dibersihkan. Menurut Wawan, buahnya pun tidak terlalu bagus. Berbeda dengan sawit yang berada di pinggir jalan utama atau di lokasi-lokasi tertentu yang diberikan perlakuan khusus, misalnya pemupukan dan pembersihan secara rutin, terlihat lebih bersih dan terawat. Masalahnya, jumlah pekerja yang bertugas tidak sesuai dengan luas lokasi yang dikerjakannya. Misalnya Afdeling 5.1, luasnya sekitar 300 hektare, tapi hanya dikerjakan oleh 11 orang pekerja.

Setelah sampai di lokasi yang ditunjuk oleh mandor, Wawan segera memarkir motornya di tempat yang teduh. Terlihat dua orang pekerja berjalan kaki berpapasan dengan kami. Satu di antaranya memikul dodos dan satu lainnya menggendong ransel.

Matahari semakin terik, kami bergegas memulai pekerjaan. Wawan menyiapkan alat untuk membersihkan pelepah yang rusak. Pekerjaan ini cukup sulit. Orang yang tidak biasa bekerja membersihkan pelepah, harus berlatih agar akrab dengan pekerjaan ini. Awalnya, pekerjaan itu saya anggap mudah.Pasalnya, hanya tinggal mengerek pelepah dengan alat (pengerek). Tetapi setelah saya coba, ternyata cukup sulit. Sebagai pemula, untuk menurunkan satu pelepah yang rusak saja, saya membutuhkan waktu cukup lama. Pada dasarnya, membersihkan pelepah mengandalkan kekuatan otot tangan untuk menarik gagang pengerek untuk menjatuhkan pelepah. Wawan cukup sigap mengerjakannya, terlihat profesional dengan pekerjaan itu.

Pagi itu, para pekerja lain juga sudah mulai bekerja. Beberapa meter dari tempat kami, terlihat seorang buruh sedang memanen. Sejam kemudian, terlihat seorang mandor menggunakan motor trail mengawasi dari ruas jalan. Mandor memang bertugas mengawasi perkebunan, termasuk mengawasi kinerja pekerja. Selain itu, mandor juga bertugas menentukan pekerjaan mana yang harus diselesaikan segera. Misalnya, mandor panen, dia bertugas memastikan lokasi mana yang harus segera dipanen. Begitu juga mandor pemeliharaan, dia bertugas memastikan lokasi mana yang harus dibersihkan ataupun dipupuk.

Terkait keselamatan kerja, hari itu Wawan hanya mengenakan celana jeans yang panjangnya selutut dan kaos oblong. Ia tidak menggunakan pelindung kepala (helm) dan sarung tangan. Ia dilengkapi dengan sepatu jungle yang dibelinya di pasar—bukan pemberian perusahaan. Sebagian besar pekerja yang saya temui di perkebunan tidak mengenakan pengaman yang memadai. Menurut keterangan pekerja, perusahaan tidak menyediakan perlengkapan keamanan kerja. Untuk melindungi diri dari kemungkinan kecelakaan, para pekerja melengkapi diri dengan pengaman seadanya.

Padahal, mengingat kondisi kerjanya cukup berisiko mengalami kecelakaan, seharusnya para pekerja dilengkapi dengan standar keamanan kerja yang memadai. Pada fase pembersihan pelepah, kepala adalah bagian yang paling rentan ketimpa pelepah.

Selain pekerja tetap, di afdeling 5.1 terlihat juga sekitar 4 orang pekerja harian lepas yang sedang menyemprot rumput. Beberapa pekerjaan memang membutuhkan pekerja harian. Pekerjaan yang sering menggunakan jasa harian adalah penyemprotan rumput dan pemupukan sawit. Pekerja itu diupah sebesar Rp50.000,-per hari. Fase penyemprotan dan pemupukan dilakukan tiga bulan sekali. Artinya, setiap afdeling akan membutuhkan pekerja harian pada masa itu.

Sedangkan pegawai tetap golongan A1 seperti Wawan, setiap bulannya mendapatkan upah sebesar Rp2.400.000,-. Upah sebesar itu tidaklah cukupuntuk memenuhi kebutuhan keluarga. Pasalnya, selain istri dan seorang anak, Wawan juga tinggal bersama kedua orang tuanya. Dan dia merupakan kepala keluarga di rumah.

Di perkebunan, pada saat kerja panen, setiap buruh ditargetkan memanen 60 tandan buah sawit segar perhari. Jika para pekerja mencapai hasil lebih dari target tersebut, maka kelebihannya akan dibayar diluar gaji pokoknya. Untuk upah kelebihan target panen itu,pertandannya dihargai Rp700,-. Sedangkan ketika pekerja tidak memenuhi terget panen, merekaterkena potongan upah pokok sebagai dendanya.

Wawan dan pekerja lainnya sering memacu intensitas kerjanya agar memperoleh upah lebih besar dari upah pokoknya. Dalam sehari,iakadang mampu memanen hingga 110 tandan buah segar. Ini dilakukan untuk menambah pendapatannya. Akibatnya,di musim panen, ia sering terlambat pulang. Kalau sedang musim panen, dalam sebulan kerja,Wawan bisa mendapatkan upah sebesar Rp3.000.000,- hingga Rp. 4.000.000,-.

Di waktu-waktu tertentu, di saat perkebunan belum padat pekerjaan, Wawan bisa pulang lebih awal, bahkan biasanya hanya kerja setengah hari. Musim seperti itu kadang iamanfaatkan untuk mendapatkan uang tambahan dengan cara mengangkut pasir. Wawanmemiliki gerobak sapidangerobak itulah yang digunakan untuk mengangkut pasir. Pasir dalam setiap ritnyamemilikihargasekitar Rp150. 000,-. Wawan mampu mengangkut dua ritpasirper setengah hari.

Kerja panen bukan hanya mendodos buah segar dari pohonnya. Pekerja juga bertanggung jawab mengangkutnya sampai ke pinggir jalan utama. Setalah itu, pekerja lainnya memindahkan ke dalam bak dump truck—mobil perusahaan/yang disewa perusahaan—untuk segera dibawa ke pabrik. Proses ini tidak dikenankan berlarut lama. Karena sawit harus segera diolah sebelum kandungan minyaknya susut. Idealnya, setelah dipanen, buah segar harus langsung diangkut ke pabrik. Kalau sampai menginap beberapa hari di kebun, maka harganya akan semakin turun.

Diafdeling 5.1, seluruh pekerja adalah laki-laki. Memang sangat jarangditemui pekeja perempuan. Menurut penjelasan para pekerja, kadang ada pekerja perempuan, tetapi hanya sebagai buruh harian lepas. Itupun hanya kisaran satu dua orang.

Meskipun memiliki konsesi sawit yang siap dipanen cukup luas, yakni 15.584 hektar di Kecamatan Mori Utara, Mori Atas dan Mori Selatan, PT SPN belum memiliki pabrik pengolahan CPO di wilayah tersebut. Perusahaan ini masih mengandalkan pengiriman buah sawit ke pabrik perusahaan lain, seperti Agro Astra Lestari (ALL) di Kecamatan Petasia Timur dan PT Sinar Mas di Desa Lembo, Kecamatan Beteleme.

Di Lembontonara, sebagian petani memiliki kebun sawit yang digarap secara mandiri. Meskipun digarap mandiri, bibit dibeli dari perusahaan seharga Rp40.000,-sampai Rp50.000,-per pohon. Karena melakukan pembibitan tidaklah mudah. Pembibitan pada umumya membutuhkan pengetahuan, dimana untuk mendapatkan bibit unggul harus dilakukan pemilahan secara baik. Menurut Arman, seorang petani sawit mandiri, dia lebih memilih bibit siap tanam yang dibeli dari perusahaan ketimbang menangkar sendiri. Sebab bibit yang ditangkar sendiri terkadang tidak begitu bagus produktivitasnya.

Lembontonara merupakan desa transmigrasi penduduk asal Jawa, Bali dan Nusa Tenggara Barat. Program itu berlangsung sejak1972, mendatangkan sebanyak 500 kepala keluarga (KK). Sebelum pemekaran, wilayah tersebut masukdalamadministrasi Kabupaten Poso.Pada1999, wilayah itu berada di bawah Kabupaten Morowali dan tahun 2014, masuk dalam Kabupaten Morowali Utara. Mayoritas keluarga yang dipindahkan adalah petani. Mereka dibagikan 2 hektar tanah per KK, sebagian untuk mukim dan sebagian lagi untuk lahan produksi.

Menurut petani, sejak didatangkan ke Lembontonara, mereka mengalami himpitan perekonomian. Lahan pertanian yang dibagi oleh pemerintah tidak cukup menunjang kebutuhan harian. Pasalnya, lahan itu tidak terlalu subur. Lebih parah lagi, pemberian lahan tidak dilengkapi dengan sistem irigasi yang memadai. Hal ini yang menjadi penyebab sebagian dari mereka memilih pulang ketempat asal atau hijrah ke lokasi lain, seperti ke Kecamatan Bungku Barat, dan menjual lahannya ke petani lain.

Pada 1998, pemilihan Bupati Poso berlangsung panas. Kampanye bernuansa SARA menguat yang kemudian berujung pada kekerasan dengan selubung religius. Konflik itu berlangsung bertahun-tahun. Kekerasan tersebut menyebar dengan cepat kewilayah lain. Lembontonara yang jaraknya kurang lebih 100-an kilometer dari Poso juga ikut terdampak.

Konflik tersebut memicu keresahan petani. Hampir semua dari mereka mengungsi ke wilayah lain. Wawan saat itu masih duduk di bangku kelas VIII Sekolah Menengah Atas (SMA). Dia harus menanggalkan cita-citanya untuk menyandang gelar lulusan SMA, karena terpaksa mengungsi ke Sulawesi Selatan. Selain putus sekolah, dia juga terpisah selama hampir 5 tahun dengan kedua orang tuanya. Sejak 2003-2008, Wawan tinggal bersama kakaknya yang sama-sama mengungsi di Sulawesi Selatan. Praktis tidak ada komunikasi dengan kedua orang tuannya, hanya lewat surat, itu pun beberapa kali saja.

Sampai saya melakukan reportase ke wilayah tersebut pada September 2016, petani yang sejak awal ikut bertransmigrasi hanya tersisa 40-an KK. Penyebab utamanya adalah produktivitas pertanian yang rendah dan kekerasan dengan selubung religius tersebut. Cerita panjang kedua masalah itu berujung pada konsentrasi kepemilikan tanah di segelintir orang. Petani-petani yang memiliki cukup modal mulai mengakumulasi tanah dengan membeli dari sebagian yang telah pindah. Sebagian mereka adalah orang yang datang dari luar desa. Saat ini, beberapa orang petani memiliki 20-40hektar lahan dari proses itu.

***

Setelah semakin siang, sekitar pukul 12.30 WITA, kami beristirahat. Wawan memotong beberapa pucuk pelepah sawit, kemudian dipaparkan di tanah sebagai tempat lesehan. Sadangkan saya mengambil beberapa gambar sebagai dokumentasi reportase ini. Dengan keringat basah di baju dan wajah, tanpa mengeringkannya dahulu, ia langsung membakar sebatang rokok. Lelaki setengah tua ini memang perokok aktif. Sejak pagi, terhitung sekitar 9 batang rokokdihisapnyasambil bekerja.

Kondisiburuk pekerja perkebunan memang terjadi dihampirsetiap perkebunan di Sulawesi Tengah. Misalnya,di provinsi ini, hampir seluruh perusahaan sawit tidak membekali pekerjanya dengan pengamanyang memadai. Selain soal keamanan, juga soal upah. Para pekerja perkebunan pada umumnya menjadi ladang praktek upah murah.Sejauh pengamatan penulis, diskursus tentangburuh di perkebunan kelapa sawit, terutama di Sulawesi Tengah, memang masih sangat kurang. Seolah-olahpara pekerjasektor ini tidak dibalut masalah. Padahal, meskipun relatif statis, praktek penghisapan sektor ini tidak jauh berbeda dengan sektor lain, hanya saja belum terekspos secara luas. Reportase ini pun terbatas dalam mengetahui banyak hal terkait masalah-masalah buruhp erkebunan. Perlu ada pendalaman atau riset khusus terkait dinamika perburuhan disektor ini.

Tulisan ini sebelumnya telah diterbitkan oleh Seputar Rakyat Edisi I 2016, Yayasan Tanah Merdeka. Diberbitkan ulang untuk tujuan pengetahuan.

[1] Penulis adalah Manager Pengorganisasian dan Riset Yayasan Tanah Merdeka

[2]Sebelumnya PKS tersebut merupakan salah satu usaha perkebunan PTPN XIV di Sulawesi Tengah,yang juga memiliki perkebunan karet di Beteleme, Kecamatan Lembo.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *