YTM: Kebijakan Karbon Mesti Beriringan Dengan Perlindungan Sosial Transformatif
Richard Fernandes Labiro
(Direktur Eksekutif Yayasan Tanah Merdeka).
Maraknya bencana alam dalam satu bulan terakhir ini menimbulkan banyak pertanyaan tentang sikap respon Pemerintah dalam menanggulangi bencana alam seperti banjir, longsor dan kekeringan. Ketiga bencana alam yang disebutkan disebabkan oleh fenomena alam yang terjadi seperti hujan berat yang menyebabkan banjir dan longsor dan panas berkepanjangan yang mengakibatkan kekeringan.
Fenomena alam tersebut diperparah perubahan iklim yang terjadi. Para ahli internasional menawarkan pencegahan dengan cara mengintensifkan karbon melalui kebijakan konservasi karbon hijau dan karbon biru serta merestorasi kondisi alam yang hampir rusak. Selain itu mengurangi konsumsi energi fosil yaitu batu bara.
Akan tetapi, terjadi kontradiksi di wilayah lokal. Dimana, Kawasan Industri masih mengkonsumsi batu bara untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap dan Smelter. Kebutuhan akan batu bara tentu sangat melimpah jika mengingat Kawasan Industri yang melimpah ruah di bagian Timur Sulawesi Tengah. Sebut saja Kawasan PT IMIP di Bahodopi, Kawasan PT Stardust di Petasia Timur dan yang sedang melakukan pembebasan lahan untuk Kawasan PT Baoshuo Taman Industri Invesment Group di Bungku Barat.
Keberadaan Kawasan Industri ini mengancam ekosistem laut dan pesisir. Bentuk ancaman itu seperti alif fungsi lahan dari mangrove berubah menjadi Jetty atau Dermaga, pembuangan limbah cair dan padat hasil pembakaran batu bara, dan privatisasi sepadan pantai oleh Kawasan Industri.
Sementara, fly ass yang dikeluarkan dari cerobong asap Pembangkit Listrik Tenaga uap mengancam polusi udara menjadi tidak sehat lagi. Disatu sisi, aktivitas industry telah mengubah wajah pemukiman di Pedesaan dari lestari menjadi kumuh.
Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan Ekosistem Lahan Basah yaitu laut dan pesisir mampu menyimpan karbon empat kali lipat ketimbang hutan tropis. Salah satu cara yang ditempuh dengan melestarikan mangrove, padang lamun dan terumbu karang yang dipercayai menjadi kunci utama dari ekosistem lahan basah itu.
Pasca pertemuan di Lisbon, Portugal pada acara khusus yang membicarakan agenda karbon biru. Indonesia resmi menjadi anggota dari Global Coalition for Blue Carbon (GCBC). Dalam pertemuan itu Indonesia akan memprioritaskan karbon biru sebagai agenda pengurangan emisi karbon melalui proyek yang tertuang dalam 2nd Nationally Determind Contribution.
Dari semua agenda besar itu, belum Nampak keseriusan Pemerintah Indonesia yang terintegrasi hingga ke Pemerintahan Daerah. Seperti contoh di Provinsi Sulawesi Tengah, perlu ada kebijakan daerah yang mengatur secara teknis transformasi dari perilaku konsumtif energi fosil ke perilaku ekologis. Dan perubahan ini mesti menyasar kelompok sasaran, tidak hanya masyarakat saja tetapi pelaku usaha yang terdiri pemegang saham, komisaris hingga direksinya.
Yayasan Tanah Merdeka menaruh perhatian pada keseriusan Pemerintahan Provinsi Sulawesi Tengah hingga Kabupaten dan Kota untuk merumuskan Peraturan Daerah yang benar-benar mengurangi emisi karbon yang mesti mengintegrasikanya juga ke dalam Dokumen Analisis Dampak Lingkungan dan Peta Jalan Kawasan Industri yang termuat di Proyek Strategis Nasional. Intinya, mesti ada kemauan politik dari Pemda untuk menjadikan kasus kerusakan lingkungan dan dampak buruk perubahan iklim di masyarakat terhadap Proyek Nasional.
Selain itu, Yayasan Tanah Merdeka mendorong terjadinya Transisi Keadilan Iklim bagi masyarakat. Apa yang kami maksud Transisi Keadilan Iklim ialah perubahan penggunaan energi dari kotor ke bersih namun juga berdampak sosial kepada masyarakat. Selama ini, nafas perubahan yang digaungkan Pemerintah masih bersifat eksklusif terhadap masyarakat terdampak seperti komunitas adat ( perempuan adat & pemuda adat), petani miskin, nelayan tradisional, disabilitas, dan terutama buruh.
Intinya, segala macam kebijakan karbon mesti beriringan dengan perlindungan sosial transformative yang tidak hanya, merubah perilaku orang melainkan mesti merubah struktur ketimpangan ekonomi yang dirasakan masyarakat sejak Kawasan Industri yang penyebab kerusakan iklim ini berdiri.
Maka dari itu, Pemprov mesti membentuk Satuan Tugas yang berisikan kelompok rentan atau masyarakat terdampak, akademisi dan pelaku usaha untuk menginklusifkan kebijakan rendah karbon. Kedua, hasil dari poin pertama, mesti ada kebijakan rendah karbon ditingkat Provinsi hingga Daerah. Dan ketiga, memberikan perlindungan sosial transformative bagi masyarakat terdampak dari kebijakan Transisi Iklim.