EnergiHutan & LingkunganIndustri Pertambangan

Aksi Koalisi Anti SLAPP Tuntut Hentikan Kriminalisasi dan Pelanggaran HAM di Industri Nikel Morowali

Massa yang tergabung dalam Koalisi Anti Strategic Lawsuit Against Public Participation atau SLAPP menggelar aksi di depan kantor PT Baoshuo Taman Industri Investment Group (BTIIG), Jakarta Selatan, Jumat, 1 November 2024. Aksi tersebut menuntut agar PT BTIIG menghentikan kriminalisasi dan pelanggaran HAM terhadap warga di lingkar industri nikel, khususnya Desa Topogaro dan Ambunu, Kecamatan Bungku Barat, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah.

Sebagai informasi, PT BTIIG adalah perusahaan pengolahan nikel yang beroperasi di Morowali dengan membangun kawasan industri bernama Huabao Industrial Park. Luas kawasannya mencapai 20.000 hektar yang terletak di enam desa, yaitu Desa Wata, Tondo, Ambunu, Topogaro, Umpanga, Larebonu, dan Wosu.

Saat ini, pembangunan tahap pertama berlangsung di Desa Topogaro, Tondo, dan Ambunu. Fasilitas yang dibangun mencakup PLTU captive berkapasitas 350 MW, flyoverstockpile ore, smelter, dan berbagai fasilitas lainnya.

Koordinator Aksi sekaligus perwakilan Jaringan Advokasi Tambang atau Jatam Sulawesi Tengah, Moh Taufik, membeberkan bahwa operasi PT BTIIG ditolak oleh masyarakat. Pasalnya, pembangunan kawasan industri sarat akan konflik, seperti perampasan tanah masyarakat dan kerusakan lingkungan.

“Salah gusur, mematikan produksi lahan, merubah jalur sungai, menimbun irigasi, reklamasi ilegal, pengrusakan mangrove, dan pengambilalihan aset jalan desa secara sepihak adalah cara yang dipakai,” ujarnya saat ditemui di tengah-tengah aksi pada Jumat, 1 November 2024.

Ia mengatakan bahwa masyarakat sekitar telah melakukan aksi protes sejak 2022 yang dipicu saat lahan berisi tanaman seluas 14 hektar milik petani di Desa Ambunu digusur pada malam hari. Selain itu, PT BTIIG juga mengklaim sepihak jalan desa di Desa Topogaro dan Ambunu untuk digunakan sebagai jalan hauling. Bentuk protes dilakukan oleh masyarakat dengan memblokade jalan di dua desa tersebut.

“Jalan yang diklaim merupakan akses utama ke kebun dan jauh sebelum hadir perusahaan sudah digunakan dalam bentuk jalan tanah. Saat ini, aktivitas kendaraan alat berat, abu jalan, dan bangunan penampung ore nikel di badan jalan sangat mengganggu masyarakat,” kata Taufik.

Sebagai buntut dari aksi protes masyarakat, PT BTIIG justru melaporkan lima warga Desa Topogaro, yaitu Rahman Ladanu, Wahid Imran, Hamdan, Safaat, dan Sadam, ke Polda Sulteng atas dugaan pelanggaran pidana sesuai Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 Pasal 162 tentang Pertambangan dan Minerba.

Lima warga Desa Ambunu, yaitu Abd Ramadhan A, Hasrun, Moh Rais Rabbie Ambunu, Makmur Ms, dan Rifiana Ms, juga dilaporkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 Pasal 63 ayat 1 dan Pasal 12 ayat 2 tentang Jalan.

Karena itu, massa aksi lainnya yang juga berasal dari WALHI Sulteng, JATAM Sulteng, WALHI, JATAM, KPA, YTM, AEER, Greenpeace, dan Trend Asia mendesak pihak perusahaan untuk mencabut gugatan yang dilayangkan kepada lima orang warga tersebut. Menurut Taufik, tindakan tersebut merupakan bentuk pembungkaman terhadap demokrasi.

Kemudian, Koalisi Anti SLAPP juga menuntut agar perusahaan mengevaluasi seluruh bentuk kegiatan di kawasan industrinya yang telah memberikan dampak buruk bagi masyarakat sekitar. “Beberapa sekolah yang berdekatan dengan PLTU itu anak-anaknya sudah harus menggunakan masker karena ini juga terpapar debu dari PLTU,” tutur Taufik.

Sumber: https://bisnis.tempo.co/read/1935972/aksi-koalisi-anti-slapp-tuntut-hentikan-kriminalisasi-dan-pelanggaran-ham-di-industri-nikel-morowali?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *