APRST: Reforma Agraria Jokowi-JK, Agenda Perampasan Tanah Petani
PALU-Aliansi Perjuangan Rakyat Sulawesi Tengah (APRST) menolak program Reforma Agraria yang sedang dijalankan pemerintah Sigi melalui Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA). Hal itu disampaikan oleh Yusman, Koordinator APRST dalam diskusi aliansi pada Jumat (20/10/2017) di Kantor Yayasan Tanah Merdeka (YTM).
“Reforma Agraria Sigi sama sekali bertentangan dengan kepentingan kaum tani. GTRA Sigi tidak bekerja untuk mengeluarkan kebun-kebun petani dari klaim kawasan hutan. Itu jelas dalam pernyataan Amran Tambaru, Anggota GTRA Sigi di media Kompas, (17/10/17) lalu.” Tuturnya
Menurut Yusman, GTRA Sigi justru memfasilitasi masuknya program Perhutanan Sosial (PS) di Kabupaten Sigi. Padahal petani di dalam kawasan hutan menginginkan pelepasan kawasan hutan yang selama ini membatasi petani untuk berkebun.
“Kalau mereka bilang petani akan bebas berkebun setelah dijadikan PS, saya tegaskan itu tidak benar. Ini jebakan betmen, jelas-jelas dalam peraturannya petani tidak boleh memiliki dan merubah fungsi kawasan hutan dalam obyek PS. Petani hanya boleh menanam komoditi tertentu dan memanfaatkan hasil hutan bukan kayu atau kayu di dalam kawasan hutan sesuai ketentuan negara. Itu pun harus dapat izin langsung dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) jika ingin mengaksesnya.” Kata Yusman
Dia menegaskan program Perhutanan Sosial merupakan agenda cuci tangan negara-negara industri padat energi fosil. PS menurutnya berimplikasi merampas wilayah kelola kaum tani di dalam dan sekitar kawasan hutan. Sebab, PS tidak mengakui hak kelola petani untuk berkebun menanam komoditas sesuai kebutuhannya. PS hanya memberikan akses untuk memanfaatkan hasil hutan yang sesuai dengan ketentuan negara lewat regulasi. Sementara, jauh sebelum penetapan kawasan hutan para petani sudah lama tinggal dan berkebun di dalam dan sekitar hutan. Bahkan sebagian telah ada sebelum terbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Zaman Orde Baru 1970-an hingga 1980-an, sebagian petani di Kabupaten Sigi di ressettlement di dataran rendah. Pada awal 1990-an – hingga 2000-an wilayah-wilayah itu kembali ditetapkan sebagai kawasan hutan. Misalnya di Desa Lembantongoa dan Kamarora, Kecamatan Palolo.
Lanjut Yusman, pada 1992 ketika Taman Nasional diresmikan. Petani di dalam dan sekitar kawasan hutan kembali berhadap-hadapan dengan agenda konservasi. Negara melalui aparatnya berkali-kali mencanangkan pemindahan penduduk yang tinggal di dalam dan sekitar Taman Nasional Lore Lindu (TNLL). Sudah banyak korban, namun negara tetap meneruskan niatnya meskipun menuai protes dari kaum tani. Selain Taman Nasional, di Sulawesi Tengah juga terdapat 21 KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) yang mengancam keberadaan petani di dalam kawasan hutan. Sebagai contoh, KPH Kalamanta di Kecamatan Pipikoro dan Kulawi menetapkan secara sepihak kebun-kebun petani sebagai hutan lindung dan hutan produksi. Desa Siwongi dan Desa Banggaiba dinyatakan hilang dalam peta yang dibuat oleh BPKH Wilayah XVI Palu.
Yusman juga menyatakan hasil temuan APRST menemukan perbedaan persepsi antara petani dan GTRA. “Petani-petani di dalam kawasan hutan memahami pemetaan dan identifikasi yang dikerjakan bersama GTRA di Kabupaten Sigi adalah untuk mengembalikan tanah mereka yang dirampas kawasan hutan. Sementara, pernyataan Amran Tambaru sebagai anggota GTRA dan Chalid Muhammad sebagai Penasihat Senior KLHK justru mengusulkan kebun petani menjadi Perhutanan Sosial.” Ungkap Yusman
Selain itu, peneliti Celebes Institute, Ferry Rangi juga tergabung dalam APRST menyatakan skema Perhutanan Sosial adalah agenda yang didanai oleh sejumlah lembaga donor Internasional yang memiliki kepentingan akumulasi modal.
“Negara-negara industri dengan leluasa memperluas arus modal ke negara-negara berkembang sebagai jalan keluar dari krisis yang sedang dihadapinya. Mekanisme ini mendapat legitimasi berdasarkan hasil Protocol Kyoto yang kemudian diratifikasi kembali dalam Perjanjian Paris. Implikasinya, negara-negara berkembang yang masih memiliki hutan tropis seperti Indonesia dipaksa menjaga hutannya agar tetap lestari untuk menyerap emisi karbon hasil industrialisasi padat energi fosil. Agenda ini kemudian menyasar kebun-kebun petani kecil tanpa menyentuh perkebunan skala besar dan industri ekstraktif seperti tambang.” Tuturnya
Dalam kesempatan ini, Manager Kampanye dan Jaringan Yayasan Tanah Merdeka (YTM), Adriansa Manu juga tergabung dalam APRST mengatakan kebijakan Reforma Agraria pemerintah Joko Widodo dan Jusuf Kalla justru menambah deretan masalah kaum tani. Menurutnya, Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) maupun Perhutanan Sosial tidak menyentuh akar persoalan kaum tani yang menuntut kesejahteraannya.
“Reforma Agraria Jokowi-JK di Kabupaten Sigi tidak menghancurkan konsentrasi penguasaan tanah yang dikuasai oleh negara melalui Taman Nasional dan KPH. TORA hanya menyasar ex HGU dan tanah terlantar. Sementara obyek tanah tersebut di Kabupaten Sigi pada umumnya telah dikuasai dan dikelola oleh kaum tani sejak lama jauh sebelum rezim Jokowi-JK berkuasa.” Kata Adriansa
Dia menyebut, solusi minimum yang diharapkan oleh kaum tani di dalam dan sekitar kawasan hutan adalah wilayah dan kebun mereka diputihkan/APL (Areal Penggunaan Lain), tidak seperti yang disampaikan oleh anggota GTRA, Amran Tambaru dan Penasehat Senior KLHK, Chalid Muhammad sebagai Perhutanan Sosial.
Lanjut Adriansa, Reforma Agraria mestinya lahir dari kesadaran akan kebutuhan kaum tani yang dilaksanakan melalui pembaharuan struktur penguasaan yang selama ini dimonopoli oleh negara dan swasta. Tidak hanya itu, menurutnya RA harus disertai dukungan; industri berbasis desa yang dikontrol oleh kaum tani, memajukan tenaga produktif, teknologi modern, modal dan infrastruktur layanan pendukung lainnya.
“RA sebenarnya merupakan upaya perubahan atau perombakan sosial yang dilakukan secara sadar untuk mentransformasikan struktur agraria ke arah sistem agraria yang lebih sehat dan merata bagi pengembangan pertanian dan kesejahteraan kaum tani di desa guna mendukung industrialisasi nasional. Jadi pada dasarnya, RA merupakan upaya pembaruan sosial.” Tutupnya
Sebelumnya, Amran Tambaru, Anggota GTRA Sigi menyampaikan melalui media Kompas, (17/10/17) bahwa luas areal yang diajukan untuk Obyek Reforma Agraria adalah seluas 7000 hektar, sisanya (130.000) untuk Perhutanan Sosial. Pengajuan ini kata Amran sesuai dengan kebutuhan petani melalui pemetaan dan identifikasi yang dilakukan oleh warga.