Elegi Petani Morowali di Tengah Deru Buldoser Pertambangan

Morowali terus dikeruk. Deru kencang buldoser ke sana ke mari mengoyak perut bumi. Petani menangis, padi-padi mereka tak lagi bisa tumbuh.

Bukan lagi tak bisa bertumbuh, banyak petani di sana kehilangan tanah mereka. Sejak masifnya aktivitas tambang di Morowali, 10 tahun terakhir, hamparan hijau padi itu disulap menjadi area pertambangan.
 
Rela dan tak rela, begitulah isi hati mereka. Perusahaan tambang itu menebus tanah petani dengan sejumlah uang. Akan tetapi, sebagian juga bernasib malang. Tanah mereka direnggut begitu saja tanpa ganti rugi sepeser pun.
 
“Punya sertifikat tanah tetap digusur. Sertifikat ada tetapi dianggap tidak bernilai. Maka dari itu kita menyebutnya perampasan,” kata Adriansa Manu, Manajer Kampanye dan Jaringan Yayasan Tanah Merdeka, LSM di Morowali, kepada kumparan, Selasa (15/5).
 
Adriansa dan yayasannya selama ini turut aktif dalam mengadvokasi para petani malang di Morowali. Kepada kumparan, dia menunjukkan sertifikat tanah para petani yang dianggap tidak bernilai oleh perusahaan tambang.
 
Tertulis dalam sertifikat itu dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN), Kabupaten Morowali. Di dalamnya lengkap nama pemilik tanah dan ukuran tanah yang dimiliki. Tak hanya itu, terdapat pula surat bukti Pajak Bumi dan Bangunan yang dimiliki oleh petani.
 
“Masyarakat selalu melawan di situ, tapi ada pasukan dari berbagai level. Level tinggi pun ada,” tambah Adriansa.
 
Pada sebuah kesempatan, Adriansa beserta tim mengawal masyarakat Desa Bahomakmur, Bahodopi, dalam memperjuangkan tanah pada 2017 lalu. Mereka mengundang BPN untuk membuktikan kepemilikan tanah masyarakat atas klaim perusahaan tambang besar di Morowali.
 
“Setelah terjadi pengukuran, BPN pun berkomentar bahwa ini betul milik masyarakat dan perusahaan telah melakukan penyerobotan tanah yang bersertifikat tersebut,” ungkap YTM dalam keterangan mereka.
 
Meski begitu perusahaan tetap tidak mengakui hasil pengukuran dari badan yang sah dan berwenang menentukan perkara tanah di Morowali itu. Sikap mereka semakin kuat kala ada sejumlah oknum aparat keamanan yang ‘mendukung’ mereka. Bahkan para oknum itu memiliki markas khusus yang berada di area usaha pertambangan..
 
“Kenapa harus ada pengukuran terhadap lahan masyarakat tersebut?”
 
Menurut BPN lahan itu memang terbukti milik masyarakat. Bisa dibuktikan dengan sertifikat yang masih utuh tanpa ada pemecahan dari pihak mana pun.
 
Sementara itu, di antara tanah yang diserobot paksa oleh perusahaan antara lain, No. 1014 a.n. Yusuf Arifin; No. 1129 a.n. Rusbandi; No. 1105 a.n. Bambang Hariyanto; dan No. 1013 a.n.Wakin.
 
Meski di mata pemerintah tanah tersebut sah milik masyarakat, apa boleh dikata, di mata hukum perusahaan tambang tetaplah yag berjaya. Kasus-kasus serupa tetaplah terjadi hingga tahun 2018 ini.
 
“(Perusahaan) punya itu klaim tanah konsensi di situ. Mereka kuat saat proses hukum. Back upnya kuat,” jelas Adriansa.
 
Untuk saat ini, mayoritas masyarakat yang masih bisa bertani berada di Desa One Pute Jaya. Di sana, banyak tinggal para transmigran dari Jawa untuk bertani. Mereka didatangkan pemerintah sejak Orde Baru.
 
Namun, para petani juga harus memutar otak karena terkadang limbah pabrik mencemari lahan pertanian mereka. Sawah-sawah tak lagi produktif. Akibatnya, masyarakat di sana harus membeli beras dari daerah lain yang harganya 2 kali lipat lebih mahal.
 
Diversifikasi profesi di Morowali
 
Ketidakberdayaan petani mengahadapi masifnya aktivitas tambang di Morowali membuat sebagian besar dari mereka mengibarkan bendera putih. Akibatnya, mayoritas memilih untuk beralih profesi. Hal tersebut menyebabkan aktivitas ekonomi yang berubah di Morowali.
 
Berdasarkan penuturan Adriansa, setidaknya ada 4 jalan yang banyak dipilih masyarakat ketika mereka tak lagi mampu bertani.
 
Pertama, masyarakat berdamai dengan para pengusaha tambang di sana dengan menjadi buruh tambang. Kebanyakan dari mereka menjadi buruh kasar (unskilled labour) karena tak punya sedikit pun keahlian di bidang pertambangan. Ya, memang wajar, sebelumnya mereka hanya bergelut dengan hijaunya padi di sawah.
 
Kedua, ada yang memilih merantau ke kota besar. Adapun kota yang banyak menjadi destinasi masyarakat Morowali adalah Palu dan Kendari.
 
Selanjutnya, juga ada yang memilih untuk tetap tinggal di kampung halamannya. Mereka melihat peluang lain dengan dibukanya area-area pertambangan. Mereka memilih untuk membuka usaha kos-kosan.
 
Di antara tempat-tempat yang banyak berdiri usaha kos-kosan antara lain, Desa Fatufia, Kaurea, Bahodopi, Kurisa, Bohomotefe, Labota, dan One Pute Jaya.
 
Perlu diketahui, para buruh pabrik lokal lebih memilih untuk tinggal di kos-kosan daripada di mess yang disediakan pabrik. Alasannya, di mess mereka tidak bisa berkumpul dengan keluarganya, dan kos-kosan pun akhirnya menjadi alternatif pilihan.
 
Sementara, bagi warga perempuan yang tak lagi bisa bertani memilih untuk membuka warung-warung makanan. Para buruh pabrik adalah pangsa pasar para pemilik warung ini.
 
Sumber: kumparan.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.