Ironi Hilirisasi Nikel: Menghasilkan Banyak Pengangguran
Pada tanggal 06 Mei 2024, pemerintah mengeluarkan sebuah rilis melalui Badan Pusat Statistik (BPS) tentang angka pengangguran yang menurun di Sulawesi Tengah dengan persentase 3,15%. Penurunan tersebut disebutkan sebanyak 0,34% di Tingkat Penggangguran Terbuka (TPT) jika dibandingkan dengan pada tahun 2023. Sedangkan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) pada Februari 2024 sebesar 68,53%.1
Namun, paradoksnya di daerah yang sering disebut-sebut pemerintah sebagai penyerap tenaga kerja terbanyak—seperti Kab. Morowali dan Morowali Utara—tingkat pengangguran justru meningkat. Berdasarkan data BPS Sulawesi Tengah pula, pada tahun 2023 para pencari kerja di Kabupaten Morowali Utara berjumlah 4.660 orang dari total 14.425 orang pencari kerja di Sulawesi tengah. Angka ini menjadikan Morowali Utara sebagai tempat pengangguran terbanyak di Sulawesi Tengah, tepat berada di bawahnya menyusul Kabupaten Morowali sebanyak 1.925 orang.2
Tentu saja hal tersebut menimbulkan ironi. Kita semua tahu bahwa kedua wilayah ini menjadi lokus hilirisasi nikel yang selalu dibangga-banggakan pemerintah, karena sekali lagi konon: serapan tenaga kerjanya yang tinggi. Tahun 2023 lalu presiden Jokowi mengatakan sebagai berikut: “Sebelum hilirisasi hanya 1.800 tenaga kerja yang terangkut dalam pengolahan nikel. Setelah hilirisasi menjadi 71.500 tenaga kerja yang bisa bekerja karena adanya hilirisasi nikel di Sulteng.”3
Di Sulawesi Tengah memang awal-awal proyek bisnis industri nikel mampu menyerap tenaga kerja puluhan ribu. Namun, apa yang terjadi kemudian justru penurunan penyerapan tenaga kerja. Riset dari Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) membuktikannya. Riset itu mengatakan pada tahun ke-3 serapan tenaga kerja di Sulawesi Tengah sejumlah 66.008 orang. Akan tetapi, hanya 1.444 orang yang mampu diserap pada tahun ke-15 seiring berjalannya industri nikel. Angka 1.444 orang ini justru sangat timpang jika dibandingkan dengan tahun pertama industri nikel berjalan, yakni sebanyak 4.429 orang.4
Penurunan serapan tenaga kerja tersebut menurut CREA gegara skenario Business As Usual (BAU). Sebuah skenario yang tidak mempertimbangkan aspek lingkungan, budaya dan terutama kesiapan tenaga kerja di daerah tempat proyek bisnis industri dikerjakan.
Tenaga kerja—yang menjadi salah satu prasyarat utama dalam menjalankan industri—di Sulawesi Tengah masih sangat rendah kualitas Sumber Daya Manusia (SDM)-nya jika diukur dari tingkat pendidikan. Di Sulawesi Tengah sendiri rata-rata tenaga kerjanya hanya lulusan ijazah SMP, hal ini tercermin ke dalam rata-rata lama sekolah di kisaran 8,96 tahun. Sementara, di Kab. Morowali berada di angka 9,37 tahun dan Morowali Utara hanya 8,94 tahun.5
Oleh karenanya, sebenarnya daerah kita sama sekali belum siap untuk agenda bisnis industri nikel ini jika melihat kualitas SDM-nya. Miris. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Suka tidak suka, bisnis harus terus jalan demi mensejahterakan segelintir pemilik modal.
Selain soal kualitas SDM yang rendah, trend kenaikan tingkat pengangguran juga sebenarnya diakibatkan oleh proyek industri nikel itu sendiri. Mengapa? Karena di saat proyek dijalankan, juga diikuti dengan penggusuran-penggusuran lahan warga. Hal ini menimbulkan banyak orang tersingkir dari pekerjaannya—sebagai petani. Mereka mau tak mau harus menyesuaikan dengan situasi perubahan di kampungnya masing-masing: jika beruntung bisa masuk kerja di perusahaan; dan jika tidak, tentu saja menjadi pengangguran yang tabah dalam menghadapi tuntutan hidup yang semakin meningkat dari hari ke hari.
Menurut perhitungan Bank Dunia di Indonesia sendiri banyak kelas menengah yang turun kasta menjadi penduduk miskin. Jumlah kelas menengah tersebut sebanyak 27 juta, yang menjadikan penduduk miskin di Indonesia berjumlah sebesar 168 juta.6 Jumlah tersebut akan terus meningkat jika tak ada perbaikan serius dari pemerintah.
Di tengah kondisi pengangguran yang memprihatinkan kita perlu sebuah alternatif. Salah satu alternatifnya dengan mengurangi jam kerja, terutama di wilayah industri-industri pertambangan. Misalnya, dari 8 jam kerja menjadi 6 jam saja.
Pengurangan jam kerja dari 8 jam menjadi 6 jam kerja kiranya bisa menampung sebagian besar tenaga kerja yang nganggur. Hal ini bisa dilakukan dengan penambahan shift, dari yang hanya 3 shift bisa jadi 4-6 shift. Namun, mesti dengan catatan bahwa upah buruh tidak boleh dikurangi.
Selain bisa menekan angka pengangguran, pengurangan jam kerja juga bisa meminimalisir resiko kecelakaan kerja di wilayah-wilayah industri nikel. Sebab, kecelakaan kerja rata-rata ditengarai oleh jam kerja yang tinggi. Di PT. Gunbuster Nickel Industri (GNI) misalnya, ada yang bekerja hingga 12 jam kerja dan mereka yang bekerja dalam waktu tersebut jumlahnya dominan, tersebar di antaranya: bagian logistik, jetty, laboratorium, workshop, dan operator.
Praktek 6 jam kerja pernah dilakukan melalui sebuah studi di Swedia pada tahun 2015. Hasilnya, para buruh jauh lebih sejahtera, kesehatannya terjamin dan menciptakan ruang pekerjaan baru.7
Catatan:
- https://sulteng.bps.go.id/pressrelease/2024/05/06/1304/tingkat-pengangguran-terbuka–tpt–februari-2024-sebesar-3-15-persen–tingkat-partisipasi-angkatan-kerja–tpak–februari-2024-sebesar-68-53-persen.html ↩︎
- https://likein.id/story/morowali-utara-menjadi-daerah-dengan-jumlah-pencari-kerja-terbanyak-di-sulteng-35441/ ↩︎
- https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/08/03/nikel-hilirisasi-potensi-dan-kemiskinan-daerah-tambang-yang-meningkat-2023 ↩︎
- https://www.bloombergtechnoz.com/detail-news/31940/riset-hilirisasi-nikel-sulit-buka-lapangan-kerja-dalam-15-tahun ↩︎
- https://sulteng.bps.go.id/indicator/26/130/1/-metode-baru-rata-rata-lama-sekolah-menurut-kabupaten-kota.html ↩︎
- Terbaru! 27 Juta Orang Kelas Menengah RI Jatuh Miskin (cnbcindonesia.com) ↩︎
- https://www.liputan6.com/global/read/2850482/ini-yang-terjadi-jika-kita-hanya-bekerja-6-jam-sehari ↩︎