Kondisi dan Dinamika Buruh Tambang Morowali
Oleh: Adriansa Manu[1]
Saat kami memasuki Desa Fatufia, Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali, tampak iring-iringan kendaraan kelas pekerja (buruh) tambang nikel PT Sulawesi Mining Investment (PT SMI). Adi Nur (29) menepikan sepeda motornya. Sebabnya jalan dipadati kendaraan para buruh dari arah pabrik. Desa kecil itu tampak seperti kota. Para buruh baru saja pulang kerja.
Di ruas-ruas jalan, para pedagang sibuk melayani pembeli. Umumnya pembeli itu adalah buruh-buruh tambang. Sementara, debu bertebaran di sepanjang jalan dari Bahodopi ke Fatufia. Debu itu beterbangan diterpa kendaraan yang melintasi jalan. Satu demi satu kendaraan berusaha melaju dengan kecepatan tinggi, membuat debu makin lebat.
“Setiap hari jalan di sini memang macet, terutama di desa Keurea dan Fatufia. Sudah banyak korban kecelakaan, karena kendaraan yang tidak beraturan. Ditambah lagi para pengendara yang suka melaju cepat tanpa kontrol,” kata Adi Nur dengan suara lantang.
Sore itu, Adi Nur mengantarku bertemu Rules dan Ameng. Rencananya saya akan tinggal bersama Rules di satu petak kos sewaannya. Lokasinya kira-kira 100 meter dari pabrik smelter dan sekitar 50 meter dari pelabuhan PT SMI. Dari kos Rules, suara mesin PLTU dan pancang[2] bikin bising telinga.
Kami tiba di kos Rules kira-kira pukul 17.00 lewat. Rules sendiri belum pulang saat kami datang. Ameng, Firman dan Oris menyambut kedatangan kami. Saat menunggu Rules, Ameng bercerita kondisi yang mereka alami di pabrik. Katanya, perusahaan sudah kelewatan. Selama ini, mereka bekerja dengan resiko tinggi. Tapi, upah mereka sangat rendah.
“Kalau kami menuntut kenaikan upah, perusahaan selalu mengancam kami dengan PHK. Sudah banyak kawan-kawan kami yang di-PHK gara-gara menuntut upah. Mereka diputus kontrak, ada juga yang dipaksa berhenti,” cerita Ameng dengan mata berkaca-kaca.
Ameng (29) sendiri adalah buruh PT SMI. Dia bekerja di departemen feronikel. Pada tahun 2014, Ameng getol mengorganisir kawan-kawannya untuk melawan upah murah dan PHK.
Semenjak teman-temannya di-PHK, Ameng tak lagi aktif dalam serikat buruh yang mereka bentuk dua tahun lalu. Dia memilih diam di kos. Biasanya hanya Rules lah teman diskusinya. Itupun mereka jarang sekali mendiskusikan persoalan-persoalan yang mereka alami di pabrik.
“Kami tinggal 5 orang dari sekian banyak yang pernah terlibat aktif berjuang Bung. Mereka semua sudah di-PHK. Alasannya macam-macam, tapi intinya mereka memang terlalu frontal. Kami juga tidak bisa berbuat banyak, karena perusahaan terlalu kuat. Bahkan pemerintah pun tak kuasa membantu kami. Sudah berkali-kali kami adukan ke Bupati. Tapi tak ada hasil sama sekali. Kami mogok, perusahaan tak segan-segan PHK satu per satu anggota kami,” ujar Ameng.
Kira-kira 15 menit kami bercerita, Rules pun datang. Dia baru saja pulang kerja. Mukanya terlihat kusut dan pakaiannya kotor seperti baru terkena badai debu. Hari ini, dia tidak mengambil lembur. Katanya sedang tidak enak badan. Biasanya Rules bekerja dari pukul 7.00 hingga pukul 22.00. Jika tak mengambil lembur, dia bekerja hanya sampai pukul 17.00.
Di kos sewaannya, dia tinggal bersama istri dan anaknya. Istrinya bernama Alistia, dulu dia juga sempat bekerja di PT SMI. Namun, pada akhir 2015, kontraknya tak lagi dilanjutkan. Sempat beberapa kali Alistia melamar kerja kembali di PT SMI, tapi tak mendapat jawaban. Sekarang ini, dia hanya mengurus anak mereka yang baru berusia satu tahun delapan bulan. Di samping itu, dia juga membuka laundry. Tapi masih terbatas, hanya buruh-buruh yang tinggal satu lokasi yang sering menjadi langganannya. Itupun hanya sebagian buruh yang belum berkeluarga.
***
Rules (26) sendiri adalah buruh PT SMI. Dia bekerja sebagai crew erection sejak Desember 2013. Awalnya, dia bekerja sebagai buruh harian lepas selama tiga bulan. Saat itu, Rules hanya mendapat upah Rp563.133 per bulan. Upahnya dihitung dari gaji tetap harian dan lembur. Jika tak lembur, Rules biasanya hanya mendapat upah Rp360.000 dipotong jamsostek 2%.
Kondisi ini membuat Rules dan teman-temannya melakukan aksi mogok kerja. Menurut Rules, mereka mogok kerja pada awal tahun 2014. Dia tak mengingat persis mogok kerja yang mereka lakukan saat itu. Mereka menuntut perusahaan agar tidak mempraktikkan buruh harian lepas. Aksi mogok kerja ini sebenarnya berlangsung beberapa kali. Sayangnya, mereka tidak mendokumentasikan momen itu, sehingga tak ada yang ingat persis.
“Awalnya, kami mogok satu divisi, sampai-sampai kami semua dapat surat peringatan (SP) pertama. Kami sudah tidak tahan dengan peraturan manajemen. Kami dipaksa kerja, tapi tidak dikontrak. Upah kami juga sangat rendah. Waktu itu kami mogok sekitar 50 orang. Ada dari pihak manajemen yang datang menemui kami. Dia datang tanya kami. Kenapa katanya mogok. Waktu itu kami serentak menjawab, kami bilang kalau kami tidak mogok. Dia tanya lagi, siapa yang hasut. Kami jawab lagi, tidak ada yang hasut. Kami bilang, kami hanya ingin menyampaikan aspirasi kami di lapangan,” ungkap Rules.
Menurut Rules, aksi mogok itu berdampak besar. Buruh-buruh di hampir semua depertemen mulai ribut. Mereka juga banyak yang tidak terima kebijakan perusahaan. Intinya, menurut Rules, mereka takut kena PHK. Pasalnya, pada masa pembangunan pabrik, banyak buruh yang kena PHK. Itulah sebabnya mereka mulai melakukan pemogokan. Para buruh menginginkan agar perusahaan mengangkat mereka menjadi pekerja tetap.
Menurut Rules, sepanjang 2014, ada sekitar 10 kali pemogokan kerja yang mereka lakukan. Sepanjang itu juga, aksi-aksi PHK sepihak berlangsung. Setiap ada pemogokan, selalu ada yang kena PHK. Buruh-buruh yang di-PHK itu umumnya dianggap mangkir bekerja selama 3-5 hari berturut-turut.
Hal yang sama juga disampaikan Ameng. Menurutnya, sepanjang tahun 2014 ada sekitar ratusan hingga ribuan orang di-PHK secara sepihak. Bahkan ada yang sama sekali tidak mendapat pesangon dan juga uang tali kasih. Buruh-buruh yang tidak mendapat pesangon biasanya karena dianggap mengundurkan diri.
“Kalau ada yang ketahuan ikut mogok, sudah pasti kena PHK. Perusahaan biasanya anggap mereka mengundurkan diri. Nah, kalau dianggap mengundurkan diri itu tidak dapat pesangon. Mereka resign begitu saja,” kata Ameng.
Selain kena PHK, mereka juga tak bisa kembali melamar bekerja. Katanya, nama mereka sudah kena garis merah. Kondisi ini membuat para buruh takut. Mereka memilih diam daripada melawan perusahaan. Sejak terjadi PHK besar-besaran pada 2014, hampir tak ada lagi pemogokan-pemogokan. Hanya ada aksi-aksi mahasiswa yang sering datang menuntut Corporate Social Responsibility (CSR) PT Bintang Delapan Mineral (BDM).
Hal itu membuat Rules dan rekan-rekannya kebingungan. Dia dan rekan-rekannya pun mulai mencari sekutu di luar. Pada awal Maret 2014, mereka mulai berkomunikasi dengan sejumlah aktivis buruh di Kota Palu. Pertemuan ini memberikan semangat baru untuk kembali meyakinkan buruh-buruh yang sudah mulai mengalami demoralisasi. Semangat itu mulai tumbuh ketika banyak simpati dari luar mereka.
“Kami kembali berkumpul berdiskusi tentang berbagai macam masalah di tempat kerja. Awalnya, kami hanya lima orang. Saat kami bekerja, kami juga mengajak kawan-kawan kami yang lain. Mungkin sekitar dua minggu kami kerja. Kos Ameng sudah mulai full. Bahkan sebagian duduk di teras,” kata Rules.
Dalam pertemuan-pertemuan yang mereka lakukan, para aktivis juga turut serta. Mereka ikut meyakinkan para buruh untuk selalu solid dalam berjuang. Para aktivis menawarkan agar para buruh membentuk serikat pekerja. Hal itu untuk memperkuat persatuan mereka dalam menghadapi PHK dan upah murah.
Sejak itu, Rules dan rekan-rekannya mulai mewacanakan pembentukan serikat baru. Pada akhirnya mereka membentuk Serikat Buruh Tempat Kerja – Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (SBTK-FNPBI). Di sini, para aktivis ikut berperan dalam pembentukan serikat baru ini.
Menurut Rules, selama ini mereka tidak terorganisir dengan baik. Mereka mogok kerja secara spontan, bukan dengan perencanaan matang. Dia sendiri masuk dalam pengurus FNPBI. Di awal pembentukannya, kasus-kasus PHK menjadi fokus kerja mereka. Mereka juga menerima pengaduan buruh-buruh lainnya yang tidak tergabung dalam FNPBI. Bahkan buruh-buruh yang masih aktif menjadi anggota dan pengurus serikat buruh bentukan perusahaan juga mengadukan persoalannya. Tidak heran, satu minggu setelah pembentukannya, anggota FNPBI sudah mencapai ratusan orang.
Aksi-aksi mogok kerja kembali tumbuh. Puncaknya pada 12-17 Maret 2014, SBTK-FNPBI memotori aksi pemogokan tersebut. Sebanyak 320 buruh memblokir jalan hauling yang menghubungkan pengambilan raw material dengan pabrik. Mogok kerja itu membuat perusahaan gerah, sehingga mereka segera mengerahkan aparat keamanan negara (Polisi dan TNI) untuk membubarkan aksi mogok kerja tersebut. Tambahan lagi preman-preman kampung dan Serikat Buruh bentukan perusahaan ikut membubarkan aksi pemogokan itu. Aksi itu membuat beberapa orang buruh di-PHK tanpa pesangon, karena dianggap mangkir lima hari berturut-turut.[3] “Sudah banyak teman-teman kami yang tidak tahan dengan aturan perusahaan. Mereka sudah tahu konsekuensinya, makanya tidak ada yang takut lagi di-PHK,” kata Rules.
Kendati banyak yang kena PHK, para buruh tetap melakukan aksi-aksi sampai ke kantor Bupati Morowali, hingga perusahaan meminta mereka berunding. Hasilnya, sebagian buruh kontrak akan ditetapkan menjadi buruh tetap. Dan buruh-buruh pekerja harian akan dikontrak. Pada 20 Maret 2014, Rules bersama 10 orang rekan satu departemennya mendapatkan kontrak selama setahun.
***
Setiap Senin hingga Jumat, Rules berangkat kerja pukul enam pagi. Dia bekerja hingga pukul sembilan malam. Resminya Rules hanya bekerja hingga pukul lima sore. Namun, karena dia lembur, maka setiap hari dia harus pulang malam. Pada Sabtu dan Minggu, Rules mendapat shift malam. Dia berangkat kerja pukul tiga sore dan pulang kerja pukul sebelas malam.
Jika mendapat shift pagi, Rules kadang bangun lebih awal dari istrinya. Kadang pula mereka bangun bersamaan. Setelah bangun, Rules harus menimba air di sumur untuk dipakai mandi. Jaraknya sekitar 20 meter dari petak kos sewaannya. Kondisi listrik yang tak memadai membuat Rules dan istrinya kesulitan mendapat air bersih. Mereka harus rela menggunakan air sumur untuk memasak dan mandi. Bisa dibilang air sumur tersebut tidak baik untuk kesehatan, karena bercampur pasir, lumut dan bau amis. Namun, tak ada pilihan lain selain menggunakan air sumur.
Menurut Alistia, anaknya selalu mengalami gatal-gatal jika mandi dari air sumur itu. Karenanya, mereka tidak lagi memandikannya pakai air sumur. Setiap hari, Rules harus mengeluarkan uang Rp5000 untuk membeli air mineral dari depot terdekat di Desa Fatufia. Dia membeli air itu untuk dipakai mandi anaknya.
“Tidak ada pilihan, kami harus membeli air galon setiap hari. Anak saya selalu gatal-gatal kalau mandi pake air sumur. Tiga hari saja saya mandikan dia pake air sumur, kulitnya biasanya sampai mengelupas. Makanya saya sudah tidak lagi menggunakan air sumur untuk memandikan anak saya,” kata Alistia.
Pada 2015 lalu, saat terjadi panas berkepanjangan, sumur tempat Rules menimba air sempat kering. Sehingga Rules hanya bisa cuci muka dan gosok gigi menggunakan air galon ketika hendak berangkat kerja. Saat hujan, sumur itu juga menjadi keruh. Sehingga para buruh harus menampung air hujan untuk dipakai mandi dan memasak. Masalah ini pada umumnya dirasakan oleh buruh-buruh tambang PT SMI, kecuali mereka yang tinggal di rumah susun di dalam pabrik.
“Air cukup melimpah di sana, bahkan bisa langsung meminumnya tanpa harus memasaknya,” kata Rules. Rumah susun itu merupakan tempat tinggal buruh-buruh asal Cina. Jumlah mereka cukup banyak. Menurut Rules, jumlah buruh asal tirai bambu ini hampir seimbang dengan jumlah pekerja Indonesia.
Berto menceritakan kepada saya bahwa ada perbedaan mencolok antara buruh lokal dan buruh-buruh Cina. Dia mengklaim bahwa buruh-buruh Cina mendapatkan pelayanan khusus dibandingkan dengan buruh lokal. Berto mencontohkan tempat tinggal para buruh Cina jauh lebih beradab dari buruh-buruh lokal.
Hal itu juga dikeluhkan Rules. Menurutnya, “selama ini kami tidak pernah mendapat jaminan perumahan yang layak. Sama halnya pembagian kerja, buruh-buruh Cina banyak yang diangkat menjadi foreman ketimbang buruh lokal.” Ia melanjutkan, “orang-orang Cina itu tinggal di rumah susun. Mereka bisa mandi sesuka hati mereka. Kami di sini mau buang air besar saja susah, harus timba air dulu.”
Selain perbedaan tempat tinggal, Rules dan Berto juga mempermasalahkan upah buruh-buruh Cina yang relatif lebih tinggi dari buruh lokal. Adalah Asman, HRD bagian perekrutan karyawan baru, yang mengatakan kepada mereka. Bahwa buruh Cina menerima upah jauh lebih besar ketimbang buruh Indonesia.
Ameng juga mengklaim bahwa buruh-buruh Cina memperoleh gaji pokok antara Rp5 hingga Rp10 juta per bulannya. Dia lantas menyebut bahwa pihak perusahaan sama sekali tidak adil dalam pemberian upah. Padahal, menurut Ameng, kerja mereka sama.
“Kami sama-sama bekerja di bagian feronikel. Saya tanya temanku orang Cina, dia bilang gajinya Rp7 juta. Dia sendiri juga bingung kenapa gaji mereka berbeda. Temanku orang Cina bilang kalau kami orang Indonesia digaji murah. Bahkan dia mendukung jika kami melakukan protes kepada perusahaan,” kata Ameng.
Selain perbedaan upah, Rules juga kadang kesal dengan foreman asal Cina. Katanya, foreman asal negeri panda itu seringkali memarahi mereka jika lambat bekerja, apalagi istirahat.
“Kita kerja dari jam tujuh sampai jam sembilan malam itu sangat cape. Tapi, foreman dari Cina kadang marah kalau kami istirahat sebelum jamnya. Dia bilang kalau kami ini malas, padahal sudah cape. Bisa dibayangkan kami hanya istirahat jam dua belas siang sampai jam satu. Setelah itu, kami mulai kerja lagi sampai jam lima. Jam lima kami istirahat shalat, lalu masuk lagi jam enam sampai jam sembilan. Begimana kita tidak cape?,” kata Rules dengan wajah sedih.
Rules juga mengeluhkan waktu kerja lembur. Menurutnya, perusahaan sebenarnya telah memaksa mereka, walaupun lembur tak diwajibkan. Dia berpendapat dengan pemberian upah rendah itulah cara pemaksaannya. Jika mereka tak mengambil lembur, maka upah pokok sesuai kontrak kerja tidak akan cukup dipakai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Apalagi bagi buruh-buruh yang telah berkeluarga dan memiliki anak.
Upah pokok buruh PT SMI adalah sebesar Rp2.050.000. Selain upah pokok, para buruh juga memperoleh tunjangan tetap dan tidak tetap. Tunjangan tetap terbagi menjadi tiga komponen, yakni tunjangan lokasi sebesar Rp100.000, tunjangan perumahan Rp200.000 dan tunjangan keluarga sebesar Rp200.000. Sementara, tunjangan tidak tetap terbagi menjadi dua komponen antara lain insentif kehadiran dan insentif shift malam. Di sini, Rules hanya memperoleh insentif kehadiran sebesar Rp230.000. Jika ditotalkan dalam sebulan, Rules memperoleh upah di luar lembur sebesar Rp2.780.000.
“Bisa dibayangkan kalau kami tidak lembur. Kami hanya dapat dua juta tujuh ratus delapan puluh ribu per bulan. Tunjangan perumahan kami hanya dapat dua ratus ribu. Tunjangan keluarga juga hanya dapat dua ratus ribu. Sementara, kami sewa kos satu juta per bulan. Itu kan tidak masuk akal. Perusahaan juga tidak tanggung sarapan pagi bagi kami yang tinggal di luar pabrik,” kata Rules.
Bagi Rules, upah itu sangat rendah, karena harga barang di wilayah tambang cukup tinggi. Itulah sebabnya dia harus mengambil lembur setiap hari. Dengan lembur, dia dapat memperoleh upah Rp5.833.560 per bulannya. Akan tetapi, Rules menghabiskan waktunya bekerja sebanyak 318 jam dalam 28 hari. Waktu kerja itu dihitung dari waktu kerja sesuai kontrak sebanyak 224 jam ditambah dengan 94 jam waktu kerja lembur.
Waktu kerja ini berlaku umum bagi buruh-buruh PT SMI. Menurut Rules, mereka hanya shift dua kali dalam 24 jam. Kecuali mereka yang bekerja di departemen logistik. Mereka mendapatkan shift tiga kali 24 jam. Namun, kadang ada pula yang tetap mengambil lembur satu hingga dua jam.
Khusus depertemen logistik, menurut Ameng, pekerjaannya penuh resiko dan menguras tenaga. Karena mereka harus menyesuaikan diri dengan mesin-mesin yang menarik ore ke tungku (pembakaran ore). Hal yang sama juga dikatakan Mas Uling (27), operator di divisi logistik. Menurutnya, excavator yang dia operasikan selalu bergerak memindahkan ore ke dump truck. Ore itu selanjutnya akan diproses menjadi feronikel.
“Saya tidak bisa berhenti bekerja semenit pun, karena sudah ada dump truck yang menunggu giliran memuat ore ke tempat produksi. Bisa dibilang hampir tak pernah berhenti exca yang saya operasikan bekerja selama jam kerja,” kata Mas Uling.
Di departemen logistikmenurut Mas Uling, perusahaan mewajibkan mereka mengambil lembur setiap hari. Hal itu ditandai dengan adanya surat perintah lembur dari pihak manajemen. Sehingga Mas Uling harus kembali menambah dua jam waktu kerja di luar kontrak.
Mas Uling bahkan sering mengalami sakit pinggang, karena terlalu lama duduk di atas excavator. Kadang pula dia mengalami sakit badan. Hal yang sama juga dirasakan Ameng, dia terpaksa cuti karena sakit badan selama satu pekan pada akhir Oktober 2016. Ameng sempat memeriksa penyakitnya di klinik PT SMI. Namun, dokter menolaknya, karena dia sakit di luar jam kerja.
“Sudah banyak kejadian serupa. Jangankan mereka yang sakit di luar jam kerja, buruh yang jelas-jelas celaka saat bekerja saja tanggung sendiri biaya sakitnya,” kata Rules dengan nada kesal.
Pada pertengahan September 2016, terjadi kecelakaan kerja di departemen feronikel. Salah satu buruh mengalami luka bakar di wajahnya karena kesalahan teknis. Pihak perusahaan lantas menuduh kesalahan itu karena kelalaian foreman dan semua anggotanya. Sehingga biaya perawatan dipotong dari gaji satu kelompok itu di departemen logistik.
Menurut Rules, kecelakaan semacam ini sudah seringkali terjadi di hampir semua departemen. Tapi, perusahaan selalu menganggap itu karena kelalaian buruhnya sendiri, sehingga tak pernah ada ongkos keluar dari perusahaan. “Selalu satu kelompok dalam departemen yang mendapat potongan gaji. Alasannya, karena mereka lalai mengoperasikan mesin saat bekerja,” kata Rules.
Pada Januari 2015, salah seorang buruh asal Palopo meninggal dunia. Dia meninggal tertindih lempengan besi yang jatuh saat sedang bekerja. A. Timur menceritakan kejadian itu disebabkan buruknya pengaman perusahaan.
Kecelakaan kerja seperti ini sebetulnya sering terjadi di pabrik, terutama bagi mereka yang bekerja di departemen feronikel. Namun, media tak pernah meliputnya karena pihak manajemen tak membolehkan satu pun media masuk di dalam pabrik. Kecuali saat perusahaan membutuhkan mereka dalam momen-momen tertentu. Timur juga bercerita tentang kecelakaan kerja beruntun pada awal 2015. Seorang buruh di departemen feronikel mengalami kecelakaan kerja. Tangannya terpotong akibat tersambar kipas penghisap udara. Sehari sebelum kecelakaan itu, seorang buruh lain di departemen feronikel juga mengalami kecelakaan kerja. Tiga jarinya terpotong saat sedang bekerja. Kecelakaan seperti ini tak pernah diurus serius oleh perusahaan, seakan-akan kecelakaan tersebut murni akibat kelalaian buruh sendiri.
“Perusahaan sepertinya lepas tanggung jawab. Mereka tidak mau rugi, apalagi kalau biaya rumah sakit sudah bunyi jutaan Rupiah. Pasti mereka lepas tangan. Mereka biasanya bebankan ke buruhnya sendiri. Mereka juga biayai, tapi sedikit,” ujar Rules yang menyesalkan sikap perusahaan.
***
Sepulang kerja, Rules selalu menimba air sebelum berganti pakaian. Kadang dia juga memandikan anaknya. Itu rutin dia lakukan setiap hari. Setelah selesai menimba air, Rules baru bisa istirahat. Kadang saya tak sempat berbincang dengan Rules, kecuali saat pekan dan jika shift malam.
Rules tinggal di satu petak kos di Desa Fatufia, Kecamatan Bahodopi. Dalam sebulan upah yang dia terima habis dipakai membayar kos dan kebutuhan lainnya. Tak pernah ada sisa di Bank. Kos yang dia sewa kira-kira berkuran 3×5 meter. Dalam sebulan Rules membayar Rp1.000.000 kepada pemilik kos. Menurutnya, sejak mobilitas penduduk pencari kerja memadati desa-desa di sekitar pabrik nikel, sewa kos menjadi naik. Padahal pada 2014, sewa kos paling mahal Rp800.000.
Banyaknya pekerja ini membuat untung para pemilik kos. Mereka dapat menaikkan harga kos tanpa tawar-menawar dengan para buruh. Bahkan sebagian buruh tak kebagian kos. Harus rela berhimpitan dengan keluarganya atau kerabatnya di satu petak kos kecil. Mereka tinggal hingga empat orang dalam satu petak kos yang ukurannya hanya bisa ditinggali satu sampai dua orang.
Saat ini, kos-kos di sekitar tambang nikel semakin padat, terutama di desa Fatufia, Bahomakmur, Keurea dan Bahodopi. Tak ada satu pun kos yang kosong di sana. Bahkan kos yang masih dalam tahap pembangunan pun sudah dipesan. Para buruh menitipkan uang mereka terlebih dahulu kepada pemiliknya. “Disini kos-kos tidak ada lagi yang kosong. Bayangkan saja, belum ada pintunya sudah ada yang tinggali,” kata Rules.
Rules berpendapat, banyaknya penduduk yang bekerja dan mencari kerja yang menyebabkan pemilik kos menaikkan sewa kos selangit. Akibat lautan manusia yang sedang mencari rezeki. “Hampir tidak ada kos yang seharga Rp500.000 di sini. Coba saja cari, kecuali mungkin di wilayah Bahomotefe, mungkin masih agak murah, tapi kalau di sini paling rendah itu Rp800.000,” ungkap Rules.
Tapi menurut Ameng, dua tahun yang akan datang, kos-kos di Bahomotefe juga pasti akan naik. Dia melihat kemungkinan itu dari padatnya penduduk di seluruh penjuru negeri ini. Apalagi saat ini sedang ada pembangunan pabrik smelter (feronikel) di wilayah desa Lele, Dampala, dan One Pute Jaya.
Selain kos-kos yang mahal, Rules juga bercerita mahalnya kebutuhan di sekitar tambang. Apalagi saat ini dia sedang kredit motor Rp800.000 per bulan. Menurutnya, setiap bulan upah yang ia terima tak cukup untuk kebutuhan keluarganya. “Bisa dibayangkan Pak, di sini kol saja harganya Rp15 ribu per biji. Itupun kalau beli yang kecilnya. Kalau yang besar itu Rp18 ribu Pak. Itu baru sayur, belum rica, bawang dan lainnya,” ujar Rules.
Di lokasi tambang, menurut Rules, harga bahan pokok dan sebagainya bisa dua kali lipat dari harga sebenarnya. Dia mencontohkan elpiji 30 kg yang menembus Rp35 ribu. Padahal, menurutnya, itu disubsidi pemerintah untuk masyarakat tidak mampu. Tapi di wilayah Bahodopi, itu tidak berlaku. Apalagi kalau mereka utang, harganya bisa sampai Rp50.000.
Alistia juga menyebut harga beras yang selangit. Di sekitar blok Bahodopi, para pedagang tradisional biasanya menjual beras yang sudah diukur terlebih dahulu. Mereka mengisinya di dalam karung. Alistia membeli beras ukuran 10 kg dengan harga Rp160 ribu.
Tingginya biaya kebutuhan itu membuatnya sering mengkritik para pedagang dan juga perusahaan. Sebab upah suaminya tidak pernah bertahan lama di bank. Menurut Alistia, kalau saja para pedagang tidak menaikkan harga dagangan mereka, mungkin gaji suaminya cukup untuk sebulan. “Gaji suami saya per bulannya lima juta. Tapi itu kalau dia lembur. Mungkin kalau orang yang tidak tinggal di sini anggap itu besar. Kami di sini, gaji begitu tidak cukup dipakai satu bulan, yang ada kami bautang lagi di-kios,” kata Alistia.
Menurut Alistia, kalau saja perusahaan mengerti kondisi itu. mestinya mereka juga menaikkan upah buruhnya. Apalagi mereka tidak menyediakan perumahan untuk buruh. Dia berpendapat, perusahaan selama ini hanya menguras tenaga buruh, tetapi tidak memikirkan nasib mereka dan keluarga.
“Upah suami saya tidak mungkin cukup untuk kebutuhan kami di sini. Semua barang-barang di sini serba mahal, apalagi kami sewa kos, cicil motor, belum kebutuhan anak dan lain-lain. Setiap bulan saya harus ngutang. Apalagi suami saya juga perokok. Satu hari biasanya saya belanja habis sekitar Rp200.000, ya kadang juga hanya Rp100.000. Kebutuhan anak paling banyak Pak,” cerita Alistia.
Menurut Alistia, di usia anaknya yang masih balita, kebutuhannya cukup tinggi, karena harus beli pampers dan susu setiap bulannya. Dia habis Rp800 ribu per bulan hanya untuk beli pampers. Ditambah lagi susu seharga Rp150 ribu, dipakai untuk satu bulan.
***
Rules sendiri baru diangkat menjadi buruh tetap pada 20 Agustus 2016. Baginya, kendati statusnya adalah buruh tetap, dia menganggap status permanennya itu tidak menjamin keberlangsungan kerjanya di PT SMI.
Rules mencontohkan rekan kerjanya yang bernama Rustam (32) dan bekerja sebagai driver di bagian feronikel. Pada 15 September 2016, Rustam di-PHK karena dianggap mangkir kerja. Padahal statusnya adalah pekerja tetap. Menurut Rules, Rustam sama sekali tidak melakukan kesalahan, apalagi sengaja mangkir.
“Sebenarnya perusahaan sendiri yang salah. Waktu itu kan mobilnya dipakai oleh perusahaan lain. Otomatis kan dia berhenti kerja selama kendaraannya dipakai. Daripada tidak ada kerja, mending istirahat di rumah. Saya sendiri bingung kenapa perusahaan begitu,” kata Rules.
Rustam tidak masuk kerja selama tiga hari. Ternyata, selama dia tak masuk kerja, perusahaan menganggapnya mengundurkan diri. Bahkan Rustam tak menerima uang pesangon. Pihak manajemen juga memaksanya untuk tidak menuntut pesangonnya. Jika itu dia lakukan, maka perusahaan akan menggaris merah namanya. Artinya, Rustam secara otomatis tidak bisa lagi melamar kerja di PT SMI.
Menurut Rules, hal itu sudah lumrah terjadi di tempat kerjanya. Perusahaan selalu mencari cara agar setiap buruh permanen dapat disingkirkan. Hal itu mereka lakukan untuk menghindari Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Biasanya buruh-buruh yang sudah bekerja mendekati masa permanen tiba-tiba diberhentikan selama satu bulan. Perusahaan menyebutnya sebagai break kerja. Setelah itu, buruh-buruh tersebut dikontrak baru.
Selain itu, buruh-buruh yang mendekati kontrak permanen tiba-tiba kena PHK. Perusahaan selalu beralasan bahwa mereka sudah habis masa kontrak. Jika masih ingin bekerja, buruh-buruh itu harus kembali melamar kerja. Banyak dari mereka yang bahkan tak lagi diterima. Sementara, penerimaan karyawan baru terus berlangsung. Hal itu membuat para buruh kesal. Namun, tidak ada yang berani memulai perlawanan, karena takut di-PHK. “Banyak yang sadar bahwa hak kami dirampas perusahaan. Tapi, kebanyakan kawan-kawan takut kena PHK,” kata Rules.
***
“Selama ini perusahaan memperlakukan buruh seenak perutnya sendiri. Kalau mereka sudah tidak perlukan buruh, mereka buang begitu saja. Itu terus terjadi di PT SMI dan PT BDM. Ini yang mendorong saya menentang perlakuan sewenang-wenang perusahaan,” kata A. Timur.
A. Timur (29) adalah buruh di departemen PLTU milik PT SMI. Sebelum menjadi buruh, dia telah banyak terlibat dalam gerakan mahasiswa di Kendari, Sulawesi Tenggara. Setelah lulus kuliah, dia juga terlibat dalam gerakan petani dan buruh di Morowali. A. Timur termasuk salah satu orang yang memimpin aksi demonstrasi yang menewaskan dua orang nelayan di Tiaka, Kecamatan Mamosalato pada 2011 lalu. Saat itu, dia bersama kawan-kawannya memimpin aksi penolakan pembangunan lapangan minyak milik Pertamina dan Medco Energi.
Timur masuk kerja di PT SMI pada awal bulan Februari 2015. Dia dibantu salah satu tokoh politik di Sulawesi Tengah yang memiliki relasi dengan PT BDM. Lewat tokoh politik inilah dia bisa masuk kerja. A. Timur diminta untuk tidak menentang baik-buruknya kebijakan perusahaan. Sebagai siasat, dia menerima dan berjanji kepada pihak manajemen untuk tidak melakukan perlawanan.
Baginya kesepakatan itu hanya omong kosong, karena selama ini perusahaan banyak mengumbar janji kepada buruh tapi tak pernah ditepati. Semenjak dia diterima menjadi buruh di dapertemen PLTU, dia mulai memanfaatkan momen itu untuk mengajak rekan-rekannya melakukan pemogokan kerja. Timur mulai melakukan agitasi kepada buruh-buruh yang dia temui di dalam pabrik dan di luar. Berkali-kali dia berpidato secara terbuka di kantin saat mereka istirahat kerja. Tentu saja hal itu membuat perusahaan marah dan panik. A. Timur kemudian dipanggil manajer HRD untuk diperingati. Dia menceritakan bahwa Bahar Siagian memperingatinya untuk tidak menghasut teman-temannya. Apalagi dia baru sebulan bekerja.
Teguran itu diperlakukannya sebagai angin lewat. Dia tetap meneruskan niatnya untuk memberikan pelajaran kepada perusahaan. Sebagai mantan aktivis mahasiswa tentu saja dia telah matang dalam menyusun strategi taktik (stratak). Dia kemudian masuk dalam Serikat Pekerja-Sulawesi Mining Investment Pabrik (SP-SMIP). Menurut A. Timur, SP-SMIP merupakan serikat buruh bentukan perusahaan yang selama ini digunakan untuk meredam pemogokan buruh. Dia sengaja masuk di SP-SMIP untuk mempengaruhi buruh-buruh agar tidak mengikuti kemauan perusahaan. Tidak lama setelah dia menjadi anggota SP-SMIP, A. Timur pun diusulkan menjadi wakil ketua.
Setelah resmi menjadi Wakil Ketua SP-SMIP, A. Timur mulai merencanakan aksi-aksi pemogokan. Posisi strategis itu membuatnya makin mudah berkomunikasi dengan anggota SP-SMIP. “Setiap hari, rumah saya itu full, dipenuhi kawan-kawan buruh. Mereka selalu bertanya apa yang harus kami lakukan dengan kebijakan perusahaan yang merugikan buruh,” kata A. Timur.
Timur tak lagi sulit menemui para buruh. Buruh-buruh itu datang sendiri menemuinya. Bahkan saat dia meminta mereka berkumpul, para buruh dengan cepat berkumpul di rumahnya. Hal itu membuat Ketua SP-SMIP ketakutan, karena dia tak sepakat jika serikat yang dia pimpin itu harus mogok kerja.
Pada 2 Maret 2015, A. Timur memimpin aksi mogok kerja yang diikuti 1500 buruh dari seluruh departemen. Aksi mogok kerja itu menuntut (1) Kenaikan Upah Minimum Kabupaten Morowali, khususnya PT Bintang Delapan Group; (2). Ketersedian bus untuk transportasi buruh. Hal itu dilatarbelakangi seringnya kecelakaan saat berangkat kerja; (3) Pengadaan halte untuk setiap desa di blok Bahodopi; (4) Safety (keamanan/keselamatan kerja buruh) terutama bagi buruh yang bekerja di feronikel, meminta baju anti api, tidak tembus panas. Menurut catatan SP-SMIP, sepanjang 2015, ada 20 orang korban kecelakaan kerja tersebar di seluruh departemen.
Aksi mogok itu tidak mendapat respons baik. Tuntutan mereka tidak ada yang dipenuhi, kecuali janji manis Manajer HRD, Bahar Siagian, untuk mengirimkan tuntutan para buruh kepada petinggi perusahaan di Jakarta.
Tetapi, menurut A. Timur, tuntutan mereka tidak dikirim oleh Pak Siagian. Menurutnya, catatan yang memuat tuntutan buruh itu masih utuh di atas meja Pak Siagian. Informasi itu dia peroleh dari rekan kerjanya yang mengamati aktivitas Pak Siagian. “Tuntutan itu hanya disimpan di atas meja Pak Bahar,” kata Asnan mengulang cerita rekan kerjanya.
Kekesalan itu memicu kembali mogok kerja pada 28 Maret 2015 yang diikuti kurang lebih seribu buruh. Para buruh menuntut agar Bahar Siagian dipecat dari Manajer HRD. Mereka menilai bahwa Bahar Siagian telah mengkhianati kesepakatan. Namun, pemogokan kerja itu justru membuat A. Timur di-PHK.
Perusahaan memutus kontrak A. Timur tanpa alasan yang jelas. Padahal dia bekerja baru dua bulan. Abdul (30), seorang aktivis buruh di Morowali mengatakan, pemecatan A. Timur tentu saja berkaitan dengan aktivitasnya selama ini. Dia berpendapat bahwa A. Timur di-PHK karena terlalu aktif memimpin buruh mogok kerja.
“Kami hanya ingin menuntut apa yang menjadi hak kami. Karena kami sudah memenuhi kewajiban kami bekerja. Selama ini, saya lihat buruh-buruh menerima begitu saja kebijakan sepihak perusahaan. Padahal itu sangat merugikan kami seperti upah murah, waktu kerja yang panjang, kondisi kerja yang buruk dan kebijakan-kebijakan lainnya yang tentu merugikan buruh,” kata A. Timur.
Tidak hanya di-PHK. Pihak manajemen melarang A. Timur masuk ke lokasi pabrik, apalagi masuk ke dalam tempat kerja. “Sejak saya di-PHK, sejak itu juga saya dilarang masuk di dalam kawasan pabrik. Katanya saya sudah digaris merah, saya tidak tahu apa maksudnya. Ini sama sekali tidak adil bagi saya. Pernah saya coba masuk, tapi pihak security mencegat saya. Menurut mereka, saya tidak boleh masuk ke dalam. Mereka juga tidak bilang apa alasannya. Pokoknya security bilang saya tidak boleh masuk,” kata A. Timur.
Kendati A. Timur telah di-PHK, dia tetap aktif bertemu buruh dan berdiskusi tentang persoalan mereka. A. Timur terus meyakinkan para buruh untuk terus berjuang hingga tuntutan mereka dipenuhi. Dia bahkan masih memimpin beberapa kali pemogokan.
Pada 1 Mei 2015, bertepatan dengan hari buruh sedunia, para buruh kembali melakukan pemogokan. A. Timur termasuk yang memimpin pemogokan itu. Para buruh melakukan mogok kerja pada malam hari. Aksi itu mereka namakan aksi seribu lilin sebagai simbol matinya rasa kemanusiaan perusahaan kepada para buruh.
“Kami merasakan penderitaan selama ini di dalam pabrik. Perusahaan tidak memiliki rasa kemanusiaan sedikitpun kepada buruh. Barangkali kita mau mati di dalam pabrik, itu bukan urusan perusahaan. Yang dia tahu kita bekerja, itu saja, kalau melanggar dipecat,” kata A. Timur.
Dalam aksi seribu lilin itu, para buruh memblokir jalan masuk pabrik. Hal ini dilakukan agar semua buruh shift malam ikut berpartisipasi dalam pemogokan. Meskipun masih ada sebagian kecil buruh yang tetap bekerja, aksi pemogokan itu diikuti tidak kurang dari 3000 buruh.
Aksi mogok kerja kembali terjadi pada 15 Januari 2016. Para buruh menuntut kenaikan Upah Minimum Sektoral Kabupaten (UMSK). Mereka menuntut UMSK di tiga kecamatan khusus wilayah tambang, yakni Kecamatan Bungku Timur, Bahodopi dan Pesisir. Mereka menuntut penetapan UMSK sebesar Rp3 juta. Saat itu, tuntutan mereka dipenuhi. Tetapi, setelah SK Gubernur keluar, yang ditetapkan hanya Rp2,254 juta.
Mogok kerja juga terjadi pada 1 Juni 2016. Aksi mogok itu dilakukan oleh buruh-buruh PT BDM. Mereka menuntut kebijakan jam lembur yang tidak sesuai dengan aturan ketenagakerjaan. Menurut A. Timur, ada kelebihan jam kerja yang tidak dibayarkan PT BDM. Selama ini, perusahaan hanya menghitung dua komponen upah dikali 75%, padahal seharusnya 100%. Tuntutan para buruh ini tidak dipenuhi perusahaan.
Pada 2 Oktober 2016, para buruh khusus PT BDM kembali mogok kerja menuntut kelebihan jam yang tidak dibayarkan. Kali ini para buruh justru mendapat PHK. Kurang lebih 159 buruh di-PHK. Mereka teridentifikasi melakukan mogok kerja.
PHK itu memicu aksi-aksi di luar perusahaan. Puncaknya, pada awal November 2016, buruh-buruh yang di-PHK melakukan aksi di kantor manajemen PT BDM. Aksi itu membuat pihak manajemen berjanji akan kembali mempekerjakan buruh-buruh yang kena PHK. Namun, menurut A. Timur, sampai hari ini, tidak ada satupun buruh yang di-PHK kembali dipekerjakan.
Bagi A. Timur, buruh memang mesti memiliki kesadaran berorganisasi. Dan harus solid dalam berjuang. Menurutnya, masih banyak buruh yang tidak memiliki kesadaran berjuang kendati hak mereka diinjak-injak. “Kalau semua buruh mogok kerja dan solid, saya kira pasti perusahaan akan kewalahan karena pasti stop produksi. Mau tidak mau, dia pasti berpikir dua kali, kalau tidak saya penuhi, bisa bangkrut perusahaan saya,” kata A. Timur.
***
PT Bintang Delapan Mineral (PT BDM) merupakan perusahaan tambang nikel di Kabupaten Morowali. Perusahaan ini mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP) sejak tahun 2010 dengan luas wilayah produksi 21.695 hektare (ha). Konsesinya mencakup sembilan desa, yakni Bahomoahi, Bahomotefe, Lalampu, Lele, Dampala, Siumbatu, Bahodopi, Keurea, dan Fatufia. Izin usaha ini akan berakhir pada 2025.[4]
Data Kementerian Perindustrian Republik Indonesia (Kemenperin) menyebutkan bahwa Presiden Komisaris Bintang Delapan Group adalah Sintong Panjaitan, seorang Letnan Jenderal (purnawirawan). Pada 1964-1965, dia pernah ditugaskan menumpas pemberontakan Darul Islam (DI)/Tentara Islam Indonesia (TII) pimpinan Abdul Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara.[5]
Selain itu, ada juga Mayor Jenderal (purnawirawan) Hendardji Supandji. Dia merupakan Presiden Komisaris Bintang Delapan Investama, sebuah anak usaha Bintang Delapan Group. Hendardji Supandji ini adalah adik kandung Hendarman Supandji, Kepala Badan Pertanahan Nasional dan kakak Gubernur Lemhanas periode 17 Februari 2011 – 15 April 2016, Budi Susilo Soepandji.
Saat pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2012, Hendardji ikut mencalonkan diri sebagai gubernur berpasangan dengan Ahmad Riza Patria. Namun, impiannya kandas karena dia hanya memperoleh suara kurang dari dua persen. Pertarungan saat itu dimenangkan oleh pasangan Jokowi-Ahok.
Pada 2010, PT BDM menggandeng Tsingshan Steel, anak usaha PT Dingxin Group untuk membentuk usaha patungan, yaitu PT Sulawesi Mining Investment (SMI). Bintang Delapan Mineral mendekap 45% saham Sulawesi Mining Invesment. Sementara, 55% dikuasai Dingxin Group.[6] Pada tanggal 5 Desember 2014, PT SMI diresmikan oleh Kemenperin Saleh Husin. Perusahaan ini berlokasi di Desa Fatufia, Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah.
PT SMI mulai beroperasi pada 29 Mei 2015, diresmikan langsung oleh Presiden Republik Indonesia Ir. Joko Widodo. Dalam peresmiannya juga hadir Menteri Perindustrian Saleh Husin, Dirjen PPI Kemenperin Imam Haryono, Kepala BPPI Kemenperin Haris Munandar, Direktur Industri Material Dasar Logam Kemenperin Budi Irmawan dan Dedi Mulyadi, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Kepala BPKM Franky Sibarani, Gubernur Sulawesi Tengah Longki Aladin Djanggola, Bupati Morowali Anwar Hafid dan jajaran petinggi PT Sulawesi Mining Investment.[7]
Pada tahap pertama, Sulawesi Mining Investment memproduksi nikel pig iron sebanyak 300.000 ton per tahun. Menurut data Kemenperin, nilai investasi pabrik tahap pertama ini sebesar USD635,57 juta, didukung PLTU berkapasitas 2×65 MW. PT SMI juga telah memulai produksi tahap kedua dengan kapasitas 600.000 ton per tahun. Pabrik ini didukung oleh PLTU sebesar 2×150 MW. Adapun nilai investasinya sebesar USD1,04 miliar. PT SMI juga memiliki fasilitas oxygen plant, crusher plant, batching plant, water treatment plant, kanal air dan pelabuhan kargo berkapasitas 60 ton.
Saat ini PT SMI sedang membangun kawasan industri seluas 1.300 hektar di bawah PT Indonesia Morowali Industrial Park (PT IMIP). PT IMIP ini didirikan oleh PT Shanghai Decent Investment (Group) Co., Ltd, perusahaan afiliasi dari Tsingshan Steel.
Sebagian proyek PT IMIP sudah beroperasi dan sedang berjalan. Diantara yang sudah beroperasi adalah pabrik smelter feronikel yang bisa memproduksi 300.000 ton per tahun dan PLTU berkapasitas 2×65 MW, pembangkit listrik termal. Kabarnya proyek ini didanai lewat pinjaman sebesar USD600 juta dari China Development Bank (CDB) dan Industrial and Commercial Bank of China (Indonesia) Ltd.[8]
Proyek kedua IMIP adalah pabrik smelter feronikel berkapasitas 600.000 ton dan PLTU berkapasitas 2×150 MW. Proyek ini juga mendapat pinjaman sebesar USD700 juta dari Export-Import Bank of China, Bank of China dan ICBC. Kabarnya nilai investasinya mencapai USD1 miliar lebih. PT IMIP melalui PT DSS juga sedang membangun pabrik stainless steel berkapasitas 1 juta ton per tahun. Proyek ini mendapat pinjaman sebesar USD570 juta dari CDB. Masih ada sekitar sembilan proyek yang akan dikerjakan melalui bendera PT IMIP. Sepertinya PT IMIP akan menjadi perusahaan hilir feronikel terbesar di Indonesia. Perusahaan-perusahaan yang sekarang ini mati suri bisa saja bangkit untuk memasok ore ke sana.
Tidak heran jika pada 2015, buruh PT SMI telah mencapai 5000 orang. Menurut Saleh Husin, pada 2017 mendatang, apabila unit produksi telah beroperasi, PT SMI akan menyerap 12.000 orang buruh.[9] Pada 1 September 2016 lalu, Slamet V. Panggabean, Vice President PT IMIP, menyebutkan bahwa jumlah buruh Indonesia yang bekerja di PT BDM sebesar 10.000 orang. Sementara, pekerja dari negeri Tiongkok berjumlah 800 orang.[10]
Tulisan ini telah diterbitkan Seputar Rakyat Edisi I 2016, Yayasan Tanah Merdeka ditebitkan ulang untuk tujuan perluasan pengetahuan.
[1] Penulis adalah Manager Kampanye dan Jaringan Yayasan Tanah Merdeka
[2] Pancang adalah tiang besi berukuran besar yang ditancapkan untuk landasan bangunan PLTU dan Pabrik.
[3] Lihat Adriansa Manu, 2015, “Kapitalisme Merampas Kehidupan Buruh.”
[4] Lihat http://low0ngankerja.com/info-perusahaan/profil-pt-sulawesi-mining-investment/, diakses pada 1 Desember 2016.
[5] Lihat http://www.mongabay.co.id/2014/05/12/fokus-liputan-morowali-di-bawah-cengkeraman-tambang-para-jenderal/, diakses pada 1 Desember 2016.
[6] Lihat http://industri.kontan.co.id/news/smelter-nikel-bintang-delapan-beroperasi-april, diakses pada 1 Desember 2016.
[7] Lihat http://www.kemenperin.go.id/artikel/12185/Pabrik-Smelter-Nikel-PT.-Sulawesi-Mining-Investment-Mulai-Beroperasi, diakses pada 1 Desember 2016.
[8] Lihat http://www.decent-china.com/EN/index.php/Channel/Index/id/175.html, diakses pada 2 Desember 2016.
[9] Baca http://industri.bisnis.com/read/20150529/257/438547/jokowi-resmikan-smelter-milik-bintang-delapan-dingxin-group, diakses pada 2 Desember 2016.
[10] Lihat Harian Radar Sulteng, 2 September 2016.