Kampanye

Hari Bumi 2022: Industri Esktraktif  Di Sulteng Masih Merampas Lahan dan Merusak Lingkungan Hidup

Oleh: Felix Torae

Peringatan Hari Bumi tahun 2022 barusan dilakukan, seperti hari-hari besar lainnya,euphoria bahasan tentang kondisi Bumi yang kita tinggali hari ini hampir menyamai viralnya kasus mafia minyak goreng yang akhir-akhir ini terus menyengat telinga masyarakat Indonesia.

Sejarah peringatan hari bumi sendiri terjadi di negara Amerika Serikat, dicanangkan oleh Senator Gaylord Nelson. Pada sat itu, masyarakat AS mengisap gas bertimbal dalam jumlah besar karena pabrik-pabrik menghasilkan asap dan lumpur yang tak terkontrol. Alhasil, prihatin dengan kondisi lingkungan yang kian berdampak pada kesehatan manusia, ribuan mahasiswa dan rakyat AS lainnya melakukan demonstrasi pada 22 April 1970.

Barulah pada tahun 1990. Peringatan Hari Bumi dikampanyekan secara global melibatkan 200 juta orang di 141 negara serta mengangkat isu lingkungan ke seluruh dunia, sejak saat itu peringatan Hari bumi terus dilakukan tiap 22 April setiap tahunnya.

Mengetahui asal usul sejarah peringatan hari bumi yang terjadi di Amerika Serikat Pada saat itu, sebagai rakyat Indonesia tentu kita bersepakat bahwa yang terjadi di negara kita hari ini hampir sama dengan amerika pada decade 1960 sampai 1970-an, dimana ada kegiatan perusahaan ekstraktif yang mengganggu kesehatan manusia dan lingkungan.

Sebagai Provinsi yang kaya akan sumber daya Alam, Sulawesi tengah juga tidak bisa dijauhi dari isu kepentingan modal asing dalam pembangunan sektor pertambangan. Akibatnya sering terjadi perampasan lahan dialami oleh petani yang menyebapkan konflik sering terjadi.

Sebagai contoh, awal tahun 2022 saja terjadi dua kali konflik lahan antara masyarakat dengan perusahaan tembang di dua wilayah berbeda, yakni di Kabupaten Morowali utara dan Kabupaten Parigi Moutong.

Di Morowali Utara, sekitar 100 orang masyarakat Desa Tanauge, kecamatan Petasia, melakukan protes dengan cara memalangi akses jalan perusahaan PT Stardust Estate Invesment, karena menuntut kerugian atas aktivitas di Jetty, diantaranya kapal tongkang yang berlabuh, reklamasi pantai, pemancangan tiang di perairan, serta aktivitas smelter. Yang dirasa mengganggu aktivitas masyarakat.

Sedangkan di Kabupaten Parigi moutong, perusahaan PT.Trio kencana yang memiliki wilayah konsesi seluas 15.725 hektare, menyeropot lahan masyarakat di tiga kecamatan, alhasil ketika masyarakat melakukan protes melalui demontrasi, kekerasan dari aparat pun tidak terelakan hingga membuat satu orang massa aksi meninggal dunia.

Kejadian di dua kabupaten diatas belum seberapa apabila kita terjun jauh mendalami kasus perampasan tanah yang belum di selesaikan oleh negara karena ketidak-pekaannya terhadap masalah tumpang tindih pemberian izin eksplorasi.

Tiap tahunnya Perayaan Earth Day tidak lebih hanya perayaan untuk kaum termajinalkan saja, karena Negara hanya selalu jadi panitia penerbitan izin untuk kerusakan lingkungan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *