Warga Kembali Melakukan Blokade Di Kawasan PT. IHIP
Morowali — Sabtu 20 Juli 2024 sejumlah warga dari desa Ambunu Kecamatan Bungku Barat Kabupaten Morowali melakukan aksi blokade di lima titik dalam kawasan PT. Indonesia Huabao Industrial Park (IHIP). Aksi ini merupakan bagian dari tuntutan pembatalan Memorandum of Understanding (MoU) tukar aset sepihak, yang telah dilakukan oleh pihak IHIP dengan pemerintah Daerah Morowali beberapa waktu lalu tanpa melibatkan warga setempat.
Massa warga Ambunu sampai merangsek masuk ke gudang penampungan ore untuk melakukan blokade. Di sisi lain, pihak perusahaan hanya bisa mendesak polisi untuk mendesak massa yang terlanjur masuk tersebut.
Aksi warga desa kali ini juga diikuti oleh para buruh operator dump truck yang memalang jalan masuk di dalam kawasan. Sebelumnya 11 Juni 2024 lalu, warga Desa Topogaro, Tondo dan Ambunu melalui Aliansi Perberdayaan Masyarakat juga mengambil sikap tegas dengan memblokade jalan di koridor perusahaan.
Kasus Mou tukar aset itu terungkap melalui video yang menjadi viral, dimana Riski, perwakilan legal eksternal IHIP, terlihat membacakan MoU antara BTIIG dan Pemda Morowali. Dokumen tersebut berkaitan dengan pertukaran aset daerah yang terkait dengan proyek penimbunan bandara Morowali.
Perusahaan mengklaim hak atas jalan Desa Topogaro berdasarkan MoU tersebut. Namun, masyarakat lokal menyatakan bahwa mereka tidak pernah diberikan informasi atau dilibatkan dalam kesepakatan itu. Jalan desa yang dimaksud, yakni jalan yang berada di desa Topogaro hingga ke Desa Molili.Ketika perwakilan pemerintah desa mencoba memperoleh salinan MoU dan melakukan klarifikasi mengenai status jalannya, mereka ditolak oleh BTIIG yang menyatakan dokumen tersebut rahasia
Menanggapi hal di atas Direktur Eksekutif Yayasan Tanah Merdeka, Richard Fernadez Labiro mengatakan MoU tukar aset sepihak ini merupakan bagian dari contoh konkret perampasan tanah, yang didasari oleh kebijakan pro investasi asing, regulasi pertanahan yang lemah, dan ketidakjelasan hak kepemilikan warga setempat. Praktek tersebut merupakan cerminan praktek land grabbing yang tidak sesuai dengan prinsip keterbukaan.
“Kita meminta agar MoU itu dibatalkan oleh pihak yang berwenang. Mesti ada penegakkan hukum yang tegas untuk menyelesaikan masalah ini, supaya ada rasa keadilan bagi warga setempat,” pungkas Richard.