Energi

Ruang Udara Dirampas: Konflik Agraria di Morowali Akibat Ekspansi Industri Nikel

Oleh Richard Fernandez Labiro[1]

Konflik agraria berbasis udara di Morowali kembali mencuat, menyusul aksi perampasan ruang udara oleh industri nikel yang mendukung Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Captive. Masyarakat sekitar dan petani lokal kehilangan hak atas udara dan ruang hidup mereka, akibat dari perluasan area pengolahan bijih nikel yang tidak memperhatikan aspek keberlanjutan dan hak lingkungan.

Kehadiran industri ini berdampak langsung pada pencemaran udara, kerusakan lahan, serta terganggunya kehidupan masyarakat yang bergantung pada tanah dan udara di wilayah tersebut.

Konflik Agraria dan Eksternalisasi Resiko

Konflik agraria berbasis udara di Morowali adalah konflik yang timbul akibat perampasan hak udara dan kualitas lingkungan masyarakat sekitar oleh industri nikel, yang menggunakan PLTU Captive untuk memenuhi kebutuhan listriknya.

Industri nikel di Morowali secara sistematis memperluas wilayah operasinya dengan merampas ruang udara yang seharusnya menjadi hak masyarakat setempat. Proses perampasan ini terjadi ketika izin eksploitasi diberikan untuk pembangunan PLTU Captive tanpa konsultasi yang memadai dengan penduduk lokal.

Dalam praktiknya, industri ini memasang cerobong-cerobong asap yang menjulang tinggi dan melepaskan emisi berbahaya, mengubah kualitas udara yang sebelumnya bersih menjadi tercemar. Selain itu, daerah di sekitar tambang nikel dijadikan zona khusus, di mana akses masyarakat setempat ke lahan dan udara di sekitar lokasi tambang semakin dibatasi.

Eksternalisasi risiko dari skema ini menciptakan kondisi di mana konflik agraria berbasis udara di Morowali terus dilanggengkan. Beban risiko pencemaran udara, dampak kesehatan, dan kerusakan lingkungan dialihkan kepada masyarakat, sementara perusahaan nikel tetap meraih keuntungan besar tanpa kewajiban tanggung jawab lingkungan yang sepadan.

Dengan demikian, konflik berkepanjangan tak terelakkan, karena masyarakat yang terdampak terus berjuang mempertahankan hak hidup dan ruang udara mereka dari ancaman industri.

Regulasi Anti Energi Bersih

Peraturan Presiden (Perpres) No. 112 Tahun 2022, yang seharusnya mendorong energi terbarukan, justru memberikan pengecualian bagi PLTU Captive di sektor industri nikel, yang artinya PLTU ini tidak wajib dipensiunkan meski terbukti mencemari lingkungan. Alih-alih melindungi hak lingkungan masyarakat, regulasi ini memperpanjang izin operasi PLTU yang merusak, menciptakan konflik berkepanjangan di mana masyarakat terus dibebani dampak buruk, sementara industri tetap beroperasi tanpa akuntabilitas.

Data Puskesmas Wosu [2024] menunjukkan peningkatan kasus ISPA yang signifikan dari 4,226 kasus pada 2021 menjadi 5,622 kasus pada 2022, diikuti dengan sedikit penurunan menjadi 5,467 kasus pada 2023. Pola peningkatan kasus ini bertepatan dengan ekspansi operasi PLTU Captive di industri nikel di Morowali, yang diduga memperburuk kualitas udara dan meningkatkan paparan pencemaran udara di kalangan masyarakat setempat.

Peningkatan kasus ISPA yang terlihat dari tahun 2021 hingga 2023 dari data Puskesmas Wosu menunjukkan gejala serius dari dampak buruk pencemaran udara, yang mungkin dipicu oleh aktivitas PLTU Captive di industri nikel. Dengan jumlah kasus yang melonjak dari 4,226 pada 2021 menjadi 5,622 pada 2022, data ini mencerminkan beban kesehatan yang semakin berat di masyarakat sekitar. Peraturan Presiden (Perpres) No. 112 Tahun 2022, yang justru memberikan pengecualian bagi PLTU Captive di sektor nikel untuk tetap beroperasi tanpa dipensiunkan, membuat persoalan ini semakin mendesak.[2]

Penutup

Keberlanjutan konflik agraria ini tak terhindarkan karena regulasi yang membiarkan PLTU Captive terus beroperasi, memperparah kualitas udara dan mengabaikan hak masyarakat atas lingkungan yang sehat. Industri nikel tetap beroperasi dengan dukungan regulasi, sementara risiko kesehatan dihadapi langsung oleh masyarakat. Peningkatan kasus ISPA setiap tahun adalah bukti nyata dari eksternalisasi risiko yang membebani masyarakat lokal, mengukuhkan konflik berkepanjangan yang mempertaruhkan kesehatan dan keberlanjutan hidup mereka.


[1] Direktur Eksekutif Yayasan Tanah Merdeka

[2] Data Puskesmas Wosu, 2024

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *