Dampak Operasi Jetty PT IHIP terhadap Para Nelayan Desa Ambunu
Jetty PT Indonesia Huabao Industrial Park (IHIP) di Kecamatan Bungku Barat, Morowali, Sulawesi Tengah, telah membawa dampak signifikan terhadap kehidupan nelayan di Desa Ambunu. Proses reklamasi yang terjadi di sekitar pelabuhan memaksa nelayan untuk mencari ikan di lokasi yang lebih jauh, menyebabkan pengeluaran bahan bakar meningkat drastis.
Nelayan yang sebelumnya hanya membutuhkan waktu 15 menit untuk sampai di lokasi penangkapan kini harus melaut hingga 1-1,5 jam. Hal ini menambah beban operasional nelayan dengan biaya bahan bakar mencapai Rp100.000 per hari, sementara hasil tangkapan hanya sekitar 2 kilogram ikan senilai Rp100.000. Dengan demikian, keuntungan bersih yang diperoleh hampir tidak cukup untuk menutupi biaya bahan bakar dan keperluan lainnya.
Para nelayan melaporkan bahwa hasil tangkapan semakin berkurang karena perubahan kondisi laut. Jika sebelum adanya perusahaan mereka dapat menangkap hingga 5-6 kilogram ikan per hari dengan nilai jual mencapai Rp300.000, kini hasil tangkapan turun drastis, sering kali hanya 2 kilogram dengan nilai sekitar Rp100.000. Proyek industri dan aktivitas kapal di sekitar pelabuhan menyebabkan keterbatasan ruang laut yang sebelumnya digunakan nelayan untuk memancing.
Ruang laut kini terkomodifikasi menjadi aset industri, yang mengekstraksi sumber daya alam dengan mengabaikan kepentingan komunitas lokal. Nelayan juga menyebutkan bahwa tidak ada kompensasi atau bentuk dukungan apapun dari pihak perusahaan, baik dalam bentuk program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) maupun bantuan langsung.
Fenomena komodifikasi ruang laut dalam konteks ini bisa dijelaskan melalui sudut pandang Marxisme. Perusahaan menguasai ruang yang sebelumnya milik umum, memfokuskan penggunaannya untuk keuntungan pribadi. Komodifikasi ini mengakibatkan alienasi komunitas lokal, yaitu pemutusan hubungan nelayan dengan laut yang selama ini menjadi sumber kehidupan mereka. Nelayan tidak hanya kehilangan akses ke sumber daya alam, tetapi juga merasa teralienasi dari lingkungan sosial mereka karena perusahaan mengubah dinamika ekonomi dan sosial di desa.
Nelayan juga menghadapi beban biaya lain seperti perawatan mesin dan alat tangkap. Misalnya, mesin yang digunakan memerlukan biaya perawatan oli sebesar Rp55.000 hingga Rp65.000 per botol, dengan penggantian rutin setiap 20 hari. Selain itu, harga alat pancing juga meningkat signifikan, mencapai Rp30.000 per roll, menambah beban ekonomi para nelayan.
Keluhan nelayan juga mencakup kurangnya perhatian pemerintah. Pemerintah dianggap bekerja sama dengan perusahaan, memprioritaskan keuntungan ekonomi daripada kesejahteraan masyarakat. Nelayan menuntut agar perusahaan memberikan kompensasi reguler, sekitar Rp2 juta per bulan, sebagai ganti atas hilangnya akses mereka ke laut.
Meskipun nelayan telah berupaya melakukan negosiasi dengan perusahaan, hasilnya nihil. Dengan hilangnya mata pencaharian, nelayan Desa Ambunu kini terjebak dalam siklus kemiskinan. Bahkan warung kecil yang dimiliki beberapa nelayan tidak mampu menutupi kerugian yang mereka alami dari kegiatan melaut. Pendapatan dari tangkapan ikan tidak mencukupi untuk menutupi kebutuhan dasar.